Puisi-puisi Listio Wulan

Ilustrasi: Aisulu N 

Perempuan yang Mengandung Puisi 

Dalam rahimmu: sebuah janin kata tumbuh, mengaliri hati, memanjangkan sisa-sisa usia, juga angka. Kau lahirkan puisi-puisi sepi; pada bukit, pada ngarai, pada kota. Lalu kau besarkan demi mencatat semua peristiwa. Abadi! 

Bagimu: puisi ialah cahaya, di antara muram yang terang dan diam yang lantang. Mereka ialah anak yang paling kau sayang, asuh, dan jaga makna tubuhnya. Lalu, tumbuh menciptakan bahasanya sendiri. Setiap kali anak puisimu berbicara lewat kata, kau duduk hening untuk memahaminya. Apakah gelap akan terjerembab atau silau menguasainya? 

Tambun, 16 November 2022 


Senja di Kaligua 

Akan kuceritakan kepadamu 
tentang aku yang didera waktu 
kala nasib melucuti hingga 
tak pernah tiba padaku 

Kenangan ialah gudang ingatan 
bobol pintunya sampai tercecer 
menyisahkan remah-remah peristiwa 
yang berserak di kepala; 
memutar bayang masa lalu 
saat kita menukar peluk di Kaligua 
menghidu aroma rumput atau 
menatap jingga senja yang berlalu 

“Lekas kembali, Febuari kita bertemu dekat Tugu Bawang!” 
Suara itu bergema di telinga, samar berulang-ulang 
membentuk simfoni paling menyakitkan 
dan maut menyamar kerinduan 
melengkapi kesedihan yang menjelma Relix Jatibarang 
ia berumur panjang; kecemasan rumpang 
pada tanya yang tak pernah berujung, 
sementara sisa-sisa janji picisan 
di perempatan Kauman 
terkapar di jalanan 
kekasihku, kau tak kunjung datang! 

Tambun, 3 Januari 2022 


Benang-benang Selendangmu 
: Kepada Nawangwulan 

Aku mengingatmu dari sebutir nasi yang ditanak, setelah dibasuh dengan air mata. Kala lumbung padi, enggan penuh kembali. Yang tersisa hanya jejak dengan bekas benang-benang selendang, yang membelit dan terikat kuat-menali batin. Benang-benang itu menjelma takdir yang kusut, sebab cinta telah hanyut. Rindu mengalir tak surut-surut. 

Aku mengingatmu seperti ikan di laut. Namun ombak terus mengantarkan maut. Risau mendebur palung dada, bergelora penuh luka. Sebab antara desau angin dan cericit burung itu, aku terus mengenang, yang terbang semakin jauh; ke langit, ke kahyangan. Melambung lenyap, sayang! 

Begitu sesal, lancung pada hasrat jelita. Barangkali ketika jarak telah direntang jauh. Kan kaulihat selalu ada yang terdekap di hulu waktu dan kenangan itu. Menjadi jawaban-jawaban; mengalir terbawa arus, menghanyutkan mimpi-mimpi. 

Bekasi, 28 Februari 2023 


Aku mengingatmu dari sebutir nasi yang ditanak, setelah dibasuh dengan air mata. 


Racau Pemabuk Gila 

Mungkinkah tangis itu bahagia? 
Jika bahagia terkadang tangis dalam dimensi lain, 
kulihat puisi memamah kata dalam belantara 
tanda semua laju ilusi yang menyusur rimba 
pada hari-hari kisah mengabut, 
menjelma jutaan frasa yang sengkarut 
kau adalah hutan yang menolak terjamah, 
dan aku tualang yang memilih tersesat di sengkaru, 
meski segala anxiety menjelma delusi di kepala 
hingga kendali kerap alpa. 
Aku pemujamu terus merapal mantra-mantra di dada 

Cinta ialah hewan buas yang liar 
mampu menerkam dan mencabik daging batin 
kuserahkan luka-luka yang meneteskan darah 
sambil membayangkan menangkap ia yang sia-sia.  
O, arah mata angin seperti apa lagi yang aku butuhkan? 
Kubangun semua pepohonan rindu untuk berkemah 
ditemani burung-burung yang bernyanyi dalam tarian daun-daun 
ranting-ranting pun jatuh seperti kesedihan, dalam puisi yang dingin 
dalam diri ramai kata, bersemayam wajah bocah yang selalu mengajakku bertengkar. 
Perihal nyata dan tiada, lalu kutemukan diriku yang lain meraksasa kabur dari diri yang lain 

Ah! 
Sebotol whiski habis tuk kesekian kalinya 
aku butuh lebih banyak alprazolam  
mengobati duka yang tak pernah libur 
kematian apa yang lebih menyakitkan 
selain melawan pecahan diri yang terbagi-bagi? 

Tambun, 2022 


Kepada Kartini 

       -Tanya: 
Ceritakanlah Kartini, ceritakanlah 
bagaimana perempuan dahulu harus berjuang dengan tabah? 
apakah sebab perempuan-perempuan 
kerap menjelma tanah liat 
yang dapat dibentuk sekehendak hati? 
meski yang terbentuk hanya patung-patung yang lupa berhias 
hingga tak pernah ada pelangi 
di bibir perempuan-perempuan kala itu? 
Perasaan sedih gentanyangan — 
menggantung di awan 

        -Jawab: 
Jauh sebelum perempuan mengenal kata atau angka 
mereka hanya mengenal nama-nama 
: kunyit, cengkih, bawang, atau kapulaga 
lalu sibuk menjahit luka dan merajutnya sepanjang hari 
menata gelas, mangkuk, piring, dan mimpi 
menaruhnya di lemari 
tapi tak ada yang benar-benar tertata 
selain kegelisahan yang bertumpuk di lipatan baju 
meruap di sela-sela ranjang dan kamar mandi 

        -Tanya (lagi): 
Ceritakanlah Kartini, ceritakan 
bagaimana caranya perempuan-perempuan mampu tumbuh, 
seperti pepehonan yang kokoh dan tinggi? 
meski masa depan punya terlalu banyak air mata 
untuk menyirami kisah hidupnya 

        -Jawab (lagi): 
Dunia terkadang hanya melihat 
tapi tidak membaca 
hanya mendengar 
tapi tidak peduli 
maka carilah selalu bibit-bibit pengetahuan 
lalu tanam dalam taman 
di tubuh waktu 
agar tumbuh mengakar 
dan bernaung meredam semua gaung 

Bekasi, 23 Februari 2023 


Di Hadapan Kematian 

"Wajah maut itu terbentuk dari apa?" Ia bertanya. 
"Menurutmu?" Maut berujar, tersenyum. 
– Ketika pintu hari ditutup, 
kesedihan dan kebahagiaan berguguran 
kau yang sedekat urat nadi 
sejengkal demi sejengkal pun menghampiri. 
Sementara kematian ialah pertandingan 
yang tak pernah kumenangkan – 
maut pun tertawa dan berkata; 
“Tidak banyak lagi detik jadi detak! 
Lantas kematian segera membawanya pulang." 

Bekasi, 4 Mei 2023 


Baca juga: Puisi-puisi Anna Akhmatova
Baca juga: Puisi-puisi Valentina Senduk
Baca juga: Sajak Kofe, Ruang Puisi di Media Indonesia

 

 

 

 


Listio Wulan Nurmutaqin, pemuisi dan pekerja swasta, lahir di Brebes, Jawa Tengah, 11 Mei 1993. Karya-karyanya terpublis di sejumlah surat kabar dan media digital. Buku kumpulan puisi tunggal pertamanya baru saja terbit berjudul Tokoh Utama (Penerbit Nomina, Karanganyar, 2023). Kini, bermukim dan bergiat sastra di Bekasi, Jawa Barat. (SK-1)