Pekan Kesekian di De Café Resto, Pastry & Bakery
Di langit yang tembaga, aku tahu ia akan menanyakan:
“Tuhan, adakah lagi yang dapat kami kerjakan
dengan tanpa mengingat kematian?”
Ia sering setengah cemas
maka ketika seseorang mengajak bertemu di sebuah kafe
akhir minggu adalah waktu untuk bercakap-cakap
Separuh jam, sebelum seseorang itu datang
kadang kesedihan selalu lebih dulu tiba
lalu pelayan membawakan mocha frappuccino
sambil berbisik; “Satu dua orang di sini mengkhawatirkamu.”
Barangkali, ia tak ingin menyentuh minumannya
seperti kenangan-kenangan kecil dan buruk.
Ia kembali berbisik setengah tak terdengar
“Tuhan, adakah lagi yang dapat kami kerjakan
dengan tanpa mengingat kematian?”
Setelah itu, burung-burung akan hinggap di kepala
pohon-pohon dengan reranting menyerupai tangan anaknya
melambai-lambai. Dan ia ingin sekali menangis.
Sekejap kemudian, lelaki itu datang
seorang pelayan membawakan salmon teriyaki dan gelato
dengan senyum setengah ganjil; “Lihat, tidak ada hijau di mataku.”
Tuhan seakan-akan menjauh
maka sebelum pistol dikeluarkan, sebelum kenangan tentang anaknya
membubung tinggi menuju langit-langit, dan kematian selalu pagi
ia dengan gemetar menuruti. Tanda tangan adalah hari-hari buruk setelahnya.
“Kalimantan kehilangan hutan, Kalimantan memerah darah.
akan tiba waktu-waktu pengasingan,” ungkapnya pelan.
Sumenep, 2022
Di Sekujur Tubuh Pelabuhan Tua Rotterdam
“Sehari setelah kita sepakat tamasya
pelabuhan tua ini adalah jalan rindu setelahnya.”
Sebelum menaiki palka kapal
kita bayangkan seabad sebelumnya
sekarung kopi, pala, cengkih dan tembakau
tiba dengan tergesa, dan laut bergemuruh
Angin seakan-akan lambat
sebelum layar dikibarkan
mereka menyeduh secangkir
“Toraja, betapa nikmatnya
seperti bibir gadis-gadis.”
Bercak darah nusa-antara masih harum
di batang belati di pinggang kelasi
“Kita menemukan harta karun paling murni,
setelah kembali apalagi yang kita cari?”
Mereka tertawa. Keras sekali.
Sumenep, 2022
Kalimantan kehilangan hutan, Kalimantan memerah darah. Akan tiba waktu-waktu pengasingan!
Hari-hari Kecil dan Ganjil
"Hari ini menakjubkan," katamu.
"Berjejer alat-alat berat dengan rapi di sebelah hutan," balasku.
Sambil memungut daun-daun yang diterbangkan angin
kita menutup mata dengan setengah bahagia
“Adakah kesedihan yang lebih perih dari janji dan kata-kata?”
Di sebelah dinding rumah
New York menyekap
atau Makau yang dingin
berlarian lewat celah-celah pohon
menembus dada-dada kami, atau hanya mereka?
Tetapi hanya ini sebetulnya yang aku bayangkan:
“Anak orang utan yang bergelantung kepanasan, beruang madu
yang gagal menyelamatkan anak, atau-atau macan dahan yang
kehilangan rumah.”
Dan kita hanya menangis, sekeras-kerasnya.
Sumenep, 2022
Tentang Way Mengaku
Sepanjang senin yang janggal
di Liwa, tempat matahari menjelma
kematangan adalah doa-doa
Setelah Hindia memercayai musang putih
dengan ekspresi sederhana memamah kopi
yang ingin menjadikannya kawan puisi
Kemungkinan, ia menjadikannya ibu
dari imigrasi kota-kota yang tak pernah suasa
Dan petani, demi menyembunyikan pangkal perut
dari setiap bunyi kepedihan
menjadikannya tempat berpulang
Di jalan kecil menuju perdu akhirnya kita tahu:
“Sesuatu akan kehilangan makna, setelah kota-kota
terjaga dengan nada yang tak biasa.”
Sumenep, 2022
Setelah Langit Jakarta, Hari Ungu Apalagi yang Kita Punya?
Sepagi ini, Jakarta dalam balut cangkir khas Etopia selatan
mengepulkan ruap kopi Harrar. Membubung tipis sebelum gerimis
di seberang meja dengan ornamen kupu-kupu, setelah seseorang
memesan rindu dengan sedikit pedas, seperti bibir ayah
Seseorang lainnya, menyeruput kopi khas Toraja dengan bimbang
ada hal-hal kecil yang mungkin mengendap ke dasar cangkir
misalnya kesedihan setelah pembabatan hutan-hutan
Sedang saya, dengan sisa kantuk semalaman
membuka hari pada pertanyaan kesekian:
“Hari ungu apalagi yang kita punya,
setelah kebun kopi dan hutan-hutan bertamasya
menjadi Jakarta setelahnya?”
Langit diam. Hanya terdengar bunyi klakson
di luar, kemacetan tiba, seperti pikiran.
Sumenep, 2022
Baca juga: Sajak-sajak Ade Putra
Baca juga: Sajak-sajak Tiara Nabila
Baca juga: Sajak-sajak Tegar Ryadi
Muhammad Rifdal Ais Annafis, Lahir di Sumenep, Jawa Timur, 16 Februari 2001. Buku kumpulan puisinya, Artefak Kota-kota di Kepala (2021). Puisi-puisi di sini merupakan karya yang terangkum dalam 50 peserta pilihan kurator pada Lomba Cipta Puisi dalam rangka Festival Pesona Kopi Agroforestry 2022. Lomba ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bekerjasama dengan Media Indonesia. Kini, sedang berkuliah dan bergiat sastra di Yogyakarta. Ilustrasi header: Obed Luitnan, Timbangan Hukum. (SK-1)