Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Puisi-puisi Amos Ursia

Sajak Kofe
26/4/2023 16:00
Puisi-puisi Amos Ursia
Rumah di Atas Rawa, 175x136 cm, 2023.(Ilustrasi: Syahnagra Ismaill )

Melumbung 

Ketika nasiku, nasimu. 
Ketika lukaku, lukamu. 
Ketika bukuku, bukumu. 
Ketika klobotku, klobotmu. 
Ketika arsip-arsipku, arsip-arsipmu. 
Ketika telingaku, telingamu. 
Ketika bantalku, bantalmu. 
Ketika terongku, terongmu. 
Ketika congyangmu, congyangku. 
Ketika menyanku, menyanmu. 
Ketika bacotku, bacotmu. 
Ketika kacauku, kacaumu. 
Bahkan, ketika akumu, kamuku. 

Ketika aku adalah kamu, 
yang adalah aku, 
yang adalah kamu, 
yang adalah aku yang mengkamu, 
dalam kamu yang mengaku! 

2023 


Tari 

Ia adalah teks yang kamu simpan dalam-dalam pada sudut terpojok pikiranmu. 

Teks itu menghantui tubuh, 
mengambil rupa sebagai jemari dan tatap. 

Ia adalah bunyi terkecil dari dentuman besar, tersimpan rapat dalam percakapan dengan dirimu sendiri. 

Teks itu bergerak dalam ruang, 
mengambil rupa sebagai hentak kaki. 

Bedhaya dan Srimpi
jadi mati pada mata itu, ternyata basi segala upaya fragmentasi. 

Ia yang menari pada bait-bait puisi, kemenangan kecil mungkin adalah puncak koreografi. 

2023 


Perihal Berjalan 

Mungkin, satu-satunya hal yang kuinginkan dalam hidup adalah berjalan kaki sampai entah ke mana. Seperti Herodotus berjalan jauh dari Kepulauan Aegea, Mesir, Palestina, Thrace, Babilon, sampai utara Laut Hitam. 

Dunia ialah tong kosong nyaring bunyinya, lagipula kita hanya punya kaki dan telapaknya untuk saling mengenal. Ternyata begitu caranya sang musafir melintas ruang dan waktu, bahkan ia gembira, sehat, dan bugar saat menemui ajalnya. 

Herodotus mungkin hanya seorang pejalan dan musafir, ia bukan pemikir. Lagipula siapakah yang layak disebut pemikir, penyair, atau filsuf? Apakah mereka yang bersemedi sampai jadi mayat di kuil pengetahuan? Atau mereka yang menjajaki jalan berdebu sampai ke negeri-negeri jauh? Kaki dan telapak kita, mungkin hanya satu-satunya cara untuk tetap hidup. 

2023 


Satu-satunya hal yang kuinginkan dalam hidup ialah berjalan kaki agar tetap hidup. 

 

Basuh Bahasa 

Pembakaran, 
penghancuran, 
pemusnahan, 
adalah tiga kata yang ingin kuhapus dari seluruh kamus bahasa umat manusia. 

Penaklukan, 
tungkul, 
tunduk, 
adalah tiga kata lanjutan yang ingin kuhapus dari cara kita saling menjadi. 

Mengada, 
menjadi, 
adalah dua strategi kita menuju hidup,
seperti nasihat Erich Fromm. 

Kita, 
sesama manusia kecil, 
bertahan dari hempasan raksasa besar. 

Kamu membisik, 
bagaimana kalau proyek pertama hidup kita adalah membasuh bersih bahasa kekerasan?

Kamus penuh bahasa kekerasan itu kita basuh dengan air hangat, dikeringkan, dibalut, dan dimanusiakan. 

Pembakaran, 
penghancuran, 
pemusnahan, 
penaklukan, 
tungkul, 
tunduk, 
hanya jadi artefak, 
hanya jadi masa lalu, 
hanya jadi arsip. 

2023 

 

Kereta Terakhir Menuju Pulang 

— Puitisasi Last Train Home 
karya Pat Metheny. 

Entah kenapa, 
bagaimana, 
di mana, 
kapan, 
semua gelap, 
tak ada satu pun. 

Bahkan aku, 
tubuh sendiri, 
suara puitika sendiri. 

Namun pada titik terjauh, 
terlihat ada cahaya, 
samar, samar. 

Tetap aku berusaha mendekat, 
ia makin jauh, 
serangan bergidik, 
hujaman hangat, 
ditusuk pembebasan. 

Ternyata, kami dipeluk paradoks! 

Tujuh langkah ke peron, 
biasanya enam atau delapan, 
tapi tujuh tampak lebih sempurna. 

Akhirnya, usai juga. 
Akhirnya, pada akhir. 

Aku pulang! 

2023 


Catatan Perjumpaan 

Aku ingat, 
percakapan itu, 
saat kita saling berteduh, 
sampai subuh: 

"Aku bisa ikut berteduh?" 
"Aku juga sedang berteduh, ternyata malam ini terlalu panjang." 
"Memang, apa yang kamu lalui malam tadi?" 
"Entah, tak bisa kulampaui malam, malam bertemu malam lagi." 
"Sepertinya aku juga begitu." 
"Ya, mari kita saling berteduh, sampai pagi datang. Aku siapkan makan malam untuk-Mu, masuk saja lewat pintu besi itu. Udara selalu dingin setiap hari!" 

Mari kita makan malam bersama lagi, 
makan saja dengan piring-Ku, 
dengan gelas-Ku. 

Kamu suka bertanya: 
lalu, bagaimana dengan sarapan pagi? 

Tapi, akankah kita sampai pada pagi?
Atau, setiap hari adalah malam? 

Ya, bukan soal malam atau pagi, 
tapi soal wajah, 
piring, 
dan bagaimana kita saling berteduh, 
dari malam, 
dan pagi yang selalu malam. 

Pada hari, bulan, tahun, atau abad,
yang mungkin, 
selalu malam. 

Entahlah,
yang jelas,
waktu telah berhenti, 
pada teduh itu,
selalu pada jumpa, 
saling pada teduh. 

2023 


Baca juga: Waras
Baca juga: Sajak-sajak Inamul Hasan
Baca juga: Sajak-sajak Resiyaman Oratmangun 

 

 

 

 


Amos Ursia, penulis lepas, lahir di Bandung, Jawa Barat, 13 Oktober 2000. Menulis esai, puisi, dan prosa. Karya-karyanya telah dipublikasikan di sejumlah media daring. Meminati riset seputar sejarah pemikiran, sejarah seni, dan kajian pascakolonial. Kini, bergiat dan berkarya di antara dua kota, Yogyakarta dan Jakarta. Ilustrasi header: Syahnagra Ismaill, Rumah di Atas Rawa, 175x136 cm, 2023. (SK-1) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah
Berita Lainnya