Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Melepas Diri dari Rupa Asli

MI/Abdillah Marzuqi
06/3/2016 07:44
Melepas Diri dari Rupa Asli
(MI/ARYA MANGGALA)

MALAM itu, awal Maret, tiga pelukis berpamer karya di Balai Budaya Jakarta. Dengan tajuk Tiga Pelukis Indonesia, pentas karya itu berlangsung pada 1-8 Maret 2016. Nama pelukis yang turut berpamer ialah Syahnagra Ismail, Dwi Mukti Wibowo, dan Sri Warso Wahono. Ketiganya punya ciri khas dan karakter masing-masing tanpa membentrok satu sama lain. Tidak ada singgungan. Sebab, yang ada ialah harmonisasi tema dan konsep. Dengan warna dan rupa selaras, mereka saling melengkapi secara konseptual. Syahnagra Ismail punya wawasan dan pesan ekologis yang sangat dalam. Dwi Mukti Wibowo punya cerita humanis dan kuat memuat isu ekonomi. Sementara itu, Sri Warso Wahono punya corak sosiologis. Setidaknya itulah catatan dari dialog singkat bersama Lucky Fathul Aziz Hadibrata. Komisaris Bank Tabungan Negara (BTN) itu didapuk untuk membuka pameran itu.

Masih segar dalam ingatan Syahnagra Ismail tentang Papua, tanah indah terletak di ujung timur Indonesia. Empat tahun lalu, ia sempat berkunjung ke tanah cenderawasih. Tepatnya November 2012, ia melakukan perjalanan budaya bersama Museum Seni Rupa ke suku Asmat di Papua. Pesawat yang ditumpanginya terbang rendah di atas pepohonan. Hutan yang masih rimbun tampak seperti hamparan karpet hijau dari ketinggian. Saat itulah Syahnagra mendapati pengalaman estetis spiritual yang kemudian mewujud dalam karyanya. “Saya enggak bisa bilang apa-apa waktu di atas pesawat. Di kepala cuma ada tuhan dan tuhan,” tegas Syahnagra.

Pengalaman itu kemudian mewujud dalam karya berjudul Terbang di Atas Hutan Papua’. Hutan beserta kerimbaannya digambarkan dengan rupa warna yang apik dalam kanvas. Lembar kanvas itu menyisakan secuil tempat di ujung kanan sisi atas. Terdapat palang dengan sedikit sisi mencuat pada satu ujungnya. Cukup mudah untuk menangkap arti silangan palang itu, yaitu rupa pesawat. Menghargai hutan Tema ekologi menjadi sentral dalam karya Syahnagra. Terlebih karena penghargaannya terhadap hutan. Ia berpendapat bahwa tidak seharusnya hutan heterogen diubah menjadi hutan homogen. Sebab, perubahan itu akan sangat berisiko. Menurutnya, hutan ialah prototipe dan simbol kebudayaan. “Merawat hutan sama halnya merawat kebudayaan. Biarkan hutan seperti adanya. Hutan kok diatur-atur,” tegas Syahnagra.

Lukisan Sri Warso Wahono menampilkan cerita dalam bingkai yang berbeda. Salah satu lukisannya berkonsep ‘rampogan’ Jakarta di titik nol. Dalam pewayangan, wayang rampogan biasa muncul dengan ekspresi sepasukan prajurit lengkap dengan senjata dan atribut. Rampogan biasa keluar saat adegan jaranan atau pada adegan perang besar, terutama perang Baratayuda. Munculnya rampogan menandai akan ada peristiwa yang lebih panjang. “Ini sebagai simbol bakal ada fenomena yang akan terjadi,” tegas Sri Warso. Konsep itu diwujudkan dalam karya berjudul Udreg-Udreg yang berukuran 240 x 240 cm. Sri Warso juga merespons maraknya kontes kecantikan. Ia menyatakannya dalam lukisan
Kontes Kecantikan dalam bingkai 100 x 100 cm. “Saya kritisi situasi yang sebenarnya tidak penting karena akan mendegradasi kecantikan yang lebih hakiki daripada sekadar ragawi,” tegas Sri Warso. Sementara itu, Dwi Mukti Wibowo banyak melukis objek bunga dan kapal. Baginya bunga ialah kenangan, sedangkan kapal merujuk pada refl eksi perjalanan hidupnya, sekaligus menjadi simbol jatuh bangunnya perekonomian nasional. “Bunga itu refleksi kenangan. Kalau kapal itu perjalanan hidup saya. Kalau dari kacamata birokrat, kapal itu refleksi ekonomi kita,” tegas Dwi Mukti. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya