Kerudung Mbak Mirah
"Sabar itu ujian."
Selalu Mbak Mirah lontarkan
tak pernah pasrah di bawah godam
langkah terus menapak, menantang alam.
Luka mengucur nanah
tak dihiraukan. Butir-butir kopi
lebih berkelas dibanding edam¹
Tak apa, tak apa, dia paham harga mahalnya
sebuah perjalanan panjang.
Kerudung Mbak Mirah terkoyak
meski hatinya tak turut rusak
menatap bulir-bulir ranum bertandan
hatinya riang berdendang.
Tangannya lincah menari
di antara merahnya bertandan ceri
Mbak Mirah tetap berseri,
mendayukan doa seluas hati.
Mbak Mirah paham,
sejiwa raganya pun demikian
jerih dari ujung kerudung hingga
sandal jepitnya takkan pernah sepadan
dibanding butir-butirnya yang seharga kemewahan.
"Apa saja kerjamu, Mbak Mirah?"
Dia hanya tertawa bahagia
sambil berjalan di pagi buta
menyemai benih sepenuh perih
menanti bibit tinggi hingga melejit
menahan sakit tanpa menjerit
merawat sesungguh bertaruh jerih
memetik bulir melawan pedih.
Harus ia berlari mengejar matahari
menjaring terik keringkan butirnya
mengusap sepenuh asanya
menggiling dan mendoakannya
Semoga kau jadi yang terbaik
diusap peluh dengan kerudungnya,
juga pengharapannya.
Setelah berpindah tangan ke barista
kopi-kopi itu sungguhan primadona,
sedang Mbak Mirah hanya
mampu membeli kacamata
demi membaca kitab sebelum subuh tiba.
Entah siapa paling berharga
tak apa, tak mengapa sebab Mbak Mirah
tak mencari kelas. Dia hanya menyemai ikhlas
demi kepul asap dari gelas
mahasiswa sampai penarik becak
bahkan seduhan secangkir kopi Sang Bapak.
Dermakanlah sedikit hatimu
saat reguk, tak berbau langu
menemani cakap saling beradu
pamer kesuksesan unjuk kebolehan
bertukar pengalaman kisah masa kelam
rasamu berpadu di antara ucap semanis madu
bersatu musik jazz dan harum beledu.
Mengingkari indahnya
tinggal di pusar nagari
padahal surganya
reguk kau habisi.
Kopi di sini kopi surgawi
nikmatnya selaksa bius duniawi
berpeluh lusuh berhak bermimpi
jangan tandas, biar ampas sepi sendiri.
2022
¹ Edam adalah keju yang berasal dari Belanda. Berbentuk bulat dan berwarna kuning terang. Dibungkus dengan parafin dan malam berwarna merah.
Menghidu Aroma dan Kisahmu
I
Belantara masih terbuka
tak sesuram cerita tanpa cahaya
jikalau pandai bertutur kata,
pastilah aku takkan hanya merekah cita.
Dahulu kau bagian dari tanam paksa
syahwat kolonial terbius aroma surga
para pendahulu hanya menatap warna merona
dan sedikit menghidu aroma penapak jiwa.
Pesona lanang di antaramu kerap tercipta
masih malu-malu di usia kanak manusia
layaknya bayi, usai lima tahun kau melesat meraja.
Aku tak paham banyak kisah, hanya rindu menghidumu
kutahu saat warna selayak gincu, pertanda datang saat ranummu
tapi gincu gadis pemalu, bukan warna menua jambu.
Panen lelesan menjadi hiburan masa kecilku
memungut butir-butirmu sepenuh rindu
saat berikutnya penentu pamormu
perjalanan panjang menuju kelas stratamu.
II
Sudahlah! Tak perlu lagi melempar terka
arabika, robusta, liberika, ekselsa
semua membuat mereka terhuyung gila
membayangkan dan menghirupmu
sungguh selayak candu.
Memberi terik mentari selama 60 hari
menjadikanmu sekelas anggur pangeran Henry
negeriku rebutan para penjarah
karena parasnya yang cantik nan ramah.
Di sini terhampar surga beralas tanah
tanah Gayo, Kintamani, Lampung,
Mandailing, Temanggung, Flores, dan Toraja.
Menyambut bahagia sejak kau belum berupa
tanah ini memang ranah surga.
Sepenuh cinta tangan-tangannya
menjadikanmu primadona.
Sewajarnya, sebab tawananmu tak sekedar canda
dan hatiku tak gampang mendua.
Mencandumu bukanlah dosa
menghidumu takkan dipenjara
menyeruputmu puaskan dahaga
meski sungguh terkesima kisahnya.
Cerita tangan lincah petani-petani lugu
selaksa sutra dewangga sehalus beledu
mereka menjaga saat kau benih
dengan sepenuh doa dan jerih
terjaga kala terdengar rintih
butir-butirmu di saat ringkih.
III
Cinta berikutnya siap menerimamu bahagia
meski kau tawarkan masa depan bercahaya
menjadikanmu halus selembut sutra
hingga angkat derajatmu di mata dunia.
Kau berharga bukan hanya di hatiku
di setiap imaji dalam torehan tanganku
di setiap koloni di antara mulut manis tengkulak nista
dalam rengkuhan kartel pemeras air mata.
Kisahmu terus bergulir di antara jentera
di tengah pesta para penguasa
di meja-meja para sosialita dan pengusaha
di warung-warung bahagia jelata
di trotoar pengais penambal luka
di gawai-gawai para remaja
di kios renceng dan kafe mentereng
di dalam gelas pengamen berdebu
dalam sulitnya masa akil balikku
dan di antara cintanya dan cintaku.
2022
Sabar itu ujian walau luka mengucur nanah, namun tetap mendayukan doa seluas hati.
Di Sudut Dangau
Angin berarak sepi
kaki mengayuh, terbang.
Sekadar nikmati rindang hijau
pepohonan berbiji merah di lengkung.
Wanasari
sungguh asri
nan permai nian
terkenal kopi. Aromanya
kencang menembus sukma.
Seorang petani tua
tertunduk di sudut dangau
dengan sepasang kaki menekuk.
Berteman sebatang lisong tua yang buruk.
Terlihat nestapa menatap kebun yang tak lagi miliknya.
Ingin rasanya aku
hampiri dan bertanya.
Melayangkan pernyataan klise
entah dijawab atau dibisukannya.
"Buat apa?" empatiku tak mampu
mencukupi hatinya. Tutupi sedih saja.
Seandainya aku
mampu membantu dan
mengabarkan kepedihan itu, tapi membeli sekilo beras pun
aku harus memikul dan memecah batu.
Bibir mengalirkan doa
menetes serupa rintik hujan.
Bukti iman, kerja keras, dan usaha
Berharap kelak aku dan dirinya tampak
di sudut mata para teladan dan pengelana.
2022
Sepotong Cinta di Jogomulyan
I
Semburat itu masih tersirat
di cekung hati yang berurat
merindu sendu terasa sangat
beban menggayuti begitu sarat
Kenangan padamu
kala pagi di Jogomulyan
bertalu ritme lesung dan alu
menjaga sinarmu selaksa intan
Butir-butir redam terhantam
seketika jejak kenikmatan terhamburkan
harum aroma menguar angan-angan
antara senyum dan tawaran kehangatan
Adakah yang lebih menjanjikan
dibandingkan harum bulir-bulir ciptaan Tuhan
disertai beribu senyum ketulusan?
II
Perlahan biji-biji sangraimu
menguarkan aroma menyelusup kalbu
hijau lebur menjadi hitam
wajan tungku bersaksi diam.
Butir-butir yang kini halus
sepatutnya hancur tergerus
demi mengurai berjuta rasa haus
mengiringinya dengan segenggam angan tulus.
Perlahan biji-biji sangraimu menguarkan lagi aroma
menyelusup kalbu menggugah rasa
hijau lebur menjadi hitam warna
wajan tungku masih bersaksi tanpa kata.
III
Wahai sisa pagi yang mempesona
tunjukkan padaku seuntai surga ranah Dewangga
yang terwakili butir-butirmu penegak raga
diseduh lembut dengan penuh rasa cinta.
Sumber hidupku itu kupanggil bunda
senantiasa menawarkan cinta di tiap aroma
yang menyemburkan semangat di rasa pahitnya.
Menanti tumbuh di sekian purnama
menyambut tiap butirnya sepenuh asa
berdua belahan jiwa menggerus sepenuh doa
menyangrai bulir-bulir selaksa cinta.
Dibesarkan penuh kasih, diiringi lantunan sabda
bersama butir-butir penerus cita
beraroma kaya rasa.
IV
Jogomulyan sehangat pagi
tanpa pernah sepi berteman kopi
biji-biji penawar hati, mendatangkan pundi.
Tiap hirupnya tak sadar menghidupi
bersama rasa yang tak akan terbeli
cinta sejati dan harum yang tak terperi.
2022
Bisikan Kopi pada Lamtoro
Ketika bumi bermandikan kilau
ada pancaran plasma cahaya api raksasa
seiring putaran kehidupan di bumi nan galau
aku serupa pohon, kerap berlindung di bawah matra.
Liukmu lebih dari sekedar makna
hujaman hingga kedalaman yang tak terkira
Hidup bersama kasih akarmu laksana peri
merindu kelak harumku, menguar di penjuru bumi.
Kala terik menyengat raga
menjulang tinggi digdaya
seolah diriku tiada daya,
namun dirimu tak lebih penerus cahaya
hingga sinarmu menjadikanku istimewa.
Demi harum ranumnya biji-bijiku semarak
merona merahnya semburat bulir-bulirku kelak
layaknya kasih bunda yang lembut lunak
seolah kau tempatkan diriku begitu layak.
Angin terasa menyentak
membentak sekejap tersentak
namun kau tak hendak ciut
naunganmu selaksa selimut
"Mengapa dirimu sudi menjadi tamengku hingga kini?" tanyaku.
"Sebab kau masih terlalu ringkih untuk meninju langit," jawabmu.
Dahulu tak mengerti apa-apa
hanya mengangguk saja
namun sungguh hati percaya
kelak tegak di bawah mayapada.
Setelah kudengar sekelebat konversasi
dunia bergema, Indonesia milikku seutuhnya
arabika Gayo, Kintamani, Toraja, dan Liberika
aku mengerti betapa berharga arti bersama.
2022
Negeri Jerebu
Teringat jelas harum yang menyengat nikmat. Gurauan yang kerap kali dilontarkan sekadar untuk melepas penat. Di antara petala malam yang gemerlap. Bersama hirupan aroma sedap. Di Negeri yang berjerebu sarat.
Kenangan hanyalah harap kebahagiaan, kini telah berbuah pahit. Dulu sangit sekarang pahit. Dulu hanya cerita terbukanya tameng si walang sangit. Perompak harta negara pailit. Kini semakin legit. Mumpung migrasi wabah virus penyakit.
Bagaimana bisa hal yang tak terlihat, dapat menghancurkan peluang yang tiada memiliki arti bagi para petinggi. Manusia kecil sepertiku yang dahulu membungkus bubuk-bubuk beraroma menyenangkan. Yang hitam pahitnya menenangkan. Kembali memijakkan kaki di tanah yang telah memberikan nyawa selama ini.
Tempat yang memiliki banyak gedung dan harapan tinggi. Tak lagi dapat kutinggali. Berharap setidaknya di sini, aku menjadi manusia berbakti, walau sekedar membungkusi kopi atau menyeduh serenceng mimpi.
2022
Baca juga: Sajak-sajak Tegar Ryadi
Baca juga: Sajak-sajak Maharani Ningrum
Fahira Salima Rayhani, lahir di Kota Bandung, Jawa Barat, 11 Desember 2001. Suka menulis dan membaca puisi. Peraih Juara I Lomba Cipta Puisi Hari Antikorupsi Sedunia (HAKORDIA) 2021 yang digelar Inspektorat Jawa Barat. Kini, tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran. Ilustrasi: Yopi Cahyono. (SK-1)