Irama Petani
Berjalan di antara
pematang tipis nan berkelok
tumpukan gabah menindih raga
kaki tanpa alas setapak demi setapak
Berirama sayu, lelah
merangkul letih menguliti
kadang terseok acapkali terjatuh
tak ada beda, terik membakar
ataukah dingin mendekap
Yogyakarta, 2021
Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor
Baca juga: Sajak-sajak Luis Mahuze
Desa Darek Yang Sendu
Jalanan bermetamorfosa menjelma sawah
tiada peduli, yang duduk di kursi
masih sibuk menumpuk ilusi
teriakan-teriakan kosong hanya menjadi gaduh
Tetua menjadi kekanak-kanakan
bocah-bocah pergi tanpa kaki pijakan
para Tuan Guru sejenak lupa diri
megah dunia terlalu indah tuk dimungkiri
Saudara menjadi musuh
tetangga, tak ada lagi bersahabat
semua telah mabuk, entah dengan apa
Yogyakarta, 2021
Gunung Pupuh Gunung Mareje
Elang liar menatap mangsa
mata tajam memanah, menghunus
pepohonan hijau nan kokoh
jadi arang jadi abu di jangkis inaq-inaq jeleng
Dulu lebat kini gundul
tak ada yang berpikir mudarat
datang hujan, dendang longsor
menangis bukan sesal
Yogyakarta, 2021
Bendungan Pengga
Sekawanan ikan bermain
pada deru ombak yang malu
nila, mujair, mas, dan tawes,
semua saling beradu
dulu, dalam menghunus
kini, dangkal mengambang
Eceng gondok dan kangkung ungu
tumbuh liar merayu-rayu
gerombolan kerbau sigap berbaris
ditemani bapak tua sambil ngawis
Burung bangau berdansa ria
ditemani pipit menyulam singgasana
hujan lebat, rintik menghujam
matahari sembunyi sebelum datang malam
Yogyakarta, 2021
Baca juga: Tak Ada Sesuatu yang Baru di Bawah Matahari
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Ibu-Ibu Pedagang
Jauh sebelum fajar menyapa temaram
suara mesin mobil carry
mengerang-ngerang
di atas punggung gang
Bale Luah, Bale Bowo, dan Tanggong
buah-buahan, sayur-mayur, ikan pindang, ikan peje
sumber rizki papuq inaq kake
Yogyakarta, 2021
Pedagang Lontong Tahu
Teng…teng…teng…
alunan nada mangkuk dan sendok
berkolaborasi menyajikan bunyi
saling bersahut-sahutan
Dengan gerobak tua
dia ayunkan kaki bergerak
meratap ke kiri ke kanan
Tak henti menatap sembari berharap
istri dan anak-anak, ia tinggalkan sejenak
menyambut hari yang lebih cerah
Yogyakarta, 2021
Perempuan Buruh Tani
Ia membungkuk bukan karena malu
raganya sudah terlalu letih untuk dipaksa
miskin bukan berarti tak giat
buruh tak lantas ia orang tak berilmu
Ia mengajari huruf alif sampai ya
bila azan asar berkumandang
diajarinya kitab-kitab
dari matan ajrūmiyah hingga gāyatu al-taqrīb
darinya aku dapat bahwa
mengajari tak selamanya tentang materi
Yogyakarta, 2021
Baca juga: Sajak-sajak Fanny Poyk
Baca juga: Haruna dan Masalahnya
Ahmad Masyhur, kelahiran Derek, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 14 Juni 1992. Peminat kajian Sastra Puisi, isu seputar Timur Tengah, dan Kajian Keislaman. Alumnus program S-1 Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Darul Ulum as-Syar'iyyah Hudaydah, Yemen (2011-2015) dan program S-2 jurusan Interdiciplinary Islamic Studies (IIS) di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2018-2021). Buku antologi puisi terbarunya Di Kelopak Mata Altar (Guepedia, 2020). Beberapa tulisannya telah terbit di sejumlah media massa. Kini, aktif mengajar di Madrasah Aliyah Negeri 1 Yogyakarta. Ilustrasi Bayu Wicaksono.