Tahun Baru
Tahun baru datang
membawa warna dan tanya
ada dendang harap hinggap di benak
bagai nira manis melaju di tenggorokkan
Misteri hidup selalu begitu
susah dan senang bergelut padu
tak sekadar melenggang pada yang ada
tapi bersarang di keluh, juga bersumber air mata
Tak perlu selisih paham
tahun baru setia menyelinap tanpa suara
memupus harap semu manusia
agar tawa tak hilang dari wajah
Jangan memanggul beban terlalu berat
tahun baru datang dengan warna baru
sama seperti teman lama juga anyar
datang pergi tanpa diminta
Ketika seonggok cerca melanda
ada satu kata tertera, abaikan!
tahun baru memang selalu baharu
Januari 2022
Teman
Teman datang dan pergi
membawa sekumpulan kisah
pada hari terdahulu dan juga kini
ada kesetiaan kala kata pun terucap,
ada ungkapan; menusuk dari belakang dengan segala cara
Teman tetap teman
setia hanya sepenggal cerita
bermain di atribut rasa, berubah seperti bunglon
saat materi membahana, teman merapat dengan binar di mata
menyatu pada topeng rekayasa, kala terjaga teman pergi entah kemana
Temanmu, temanku, teman kita
seperti rama rama berkelebat hilang berganti warna
mencari tempat hinggap baru, lalu pergi
begitu selalu, teman datang silih berganti,
sama seperti aku dan kau, setia di janji tak berlisensi
Januari, 2022
Rinduku Rote Ndao
Rinduku Rote Ndao
tempat lontar bergerombol
membelah ombak pantai Nembrala
melambai nyiur sayup sayup
bersama tifa dan sirih memerah
Gadis manis berkulit rembulan
berselendang tenun ikat cantik menawan
tersampir di pundak.
Lelaki Rote tampan rupawan
memetik sesando beralunan lagu Bo Lele Bo¹
memanggil si anak rantau pulang kampung
minum sopi² seseloki atau dua ayunan.
Rinduku Rote Ndao
mencari darah leluhur saat tepekur
lamur di tuanya waktu, bertanya pada silsilah
aku siapa dan kau siapa; menakar umur
sebuah kisah sudah termakan sejarah
Tanah rantau mengikat erat, terlalu kuat
lupa jalan kembali dan jejak mengingat
sehingga mimpi selalu menyengat
memaksa ingatan tuk pulang
¹Bo Lele Bo: Juga biasa ditulis Bolelebo, adalah lagu daerah NTT.
²Sopi: Sejenis minuman arak beralkohol kadar rendah dari hasil penyaringan buah nira atau enau di Pulau Timor, Rote, Kisar, dan sekitarnya.
Januari, 2022
Rindu Padamu
: kepada Bapak Gerson Poyk
Tahun sudah berganti, Bapak
mengenangmu terbujur diam di Fatukoa
ada rindu memaksa langkah berjalan ke sana
namun tanah Loro Sae jauh di seberang lautan
jutaan kilometer membentang di hadapan
sunyi sepi sendiri, Bapak apa kabarmu?
Tercurah sudah segala daya
membacakan puisi tentang si Anak Karang
kau tahu, pandemi menghancurkan semua upaya
hidup mengacu bersama seonggok tanya
mengikuti rotasi berbalut cemas di dada
esok, ya esok apa yang akan terjadi?
Bapak, kabar dunia tak sebaik saat dirimu ada
atau barangkali usia dunia retas ditimbunan jelaga
berbaur dengan goresan dosa manusia
di ragam kisah rakus yang membatu
rindu teretas dan terekam selalu
Masih kuingat dan kukenang;
kita gegas menuju Taman Ismail Marzuki
memegang tanganmu dan melangkah tertatih tatih
kau sempat bertanya tentang waktu
“Kapan kita tiba di rumah, saya capek sekali."
Esok dan lusa selalu begitu
kau mengirim SMS bernada miris:
“Tolong kirim pulsa sepuluh ribu, Nak.”
Atau, “Saya lapar, tak ada uang untuk beli beras. Kirimkan saya makanan!”
Aku menatap nanar untaian kalimat pedih apa adanya
di usia menua penyakit menggerogoti
berkata sia sia pada semesta: “Telah banyak kulakukan pada negeri ini, telah banyak karya memuja negeri ini, telah banyak tulisan penuh rasa bangga pada negeri ini.”
Bapak, tangisku luruh tanpa suara,
aku ingat kala SMSmu berbunyi:
“Nak, malam tahun baru kelabu, uang tak ada, makanan pun tak ada."
Tanah Fatukoa kini menyelimutimu
membentang pegunungan dan lautan
memelukmu di serpihan kesunyian waktu
melepas tuntas derita kehidupan, membawamu
ke bentang cakrawala abadi bersamaNya.
Januari, 2022
Kisah Ibu dan Anak
Kubaca sebuah berita,
tentang kisah ibu dan anak
yang nyawa mereka meregang,
terbang melayang, memetik sia sia
Ibu dan anak
melepas kehidupan
terpangkas paksa di ganasnya
emosi, meraung iba dalam sepi
Pedih mengirim tanya
membunuh jadi barang biasa
emosi menutup akar sehat nalar
manusia lebur di kerangka maha nista
tercerabut dari naungan kasih juga empati
Amarah menderu menukik di liarnya laku
gelap mata menghunus ujung sembilu
ibu dan anak pasrah tak berdaya
terkubur bisu penuh tanya;
siapa durjana itu!
kisah mereka
bergulir
cepat
Kata menuntut berbalas jawab
pembunuh ibu dan anak bisu suara
lantunan doa panjang terkirim bersama air mata
haruskah nyawa pergi begitu saja
ibu dan anak memeluk luka
ada kisah belum tuntas
Januari, 2022
Sambil merajut malam, kucari rindu di segumpal kenangan.
Bumi
Ada cerita nyata tentang bumi
kerontang dalam anomali terjadi di hadapan
gunung meletus, panas, banjir, badai, hujan,
tak lagi sekedar imaji, bergulir di pintu depan
kisah kepastian lakon telah terjawabkan
manusia ada dijebak serakah kehidupan
Seruan hutan semakin gundul
binatang kehilangan tempat bernaung
teknologi membabat sumber alami
mengubah tatanan alam pemberian semesta
tamak mengeduk yang ada
bumi meradang
Ketika tangis padu pada jerit pertolongan
bumi meringis, marah tanpa kendali, menggelegar
menderu bagai aum tanah penuh luka
alam memberontak, bangkit dari kediaman panjang
menunjukkan pada keakuan manusia
sekaranglah jerit ketakutan membahana
persahabatan bumi dengan manusia pupus.
Januari, 2022
Ibu
Ibu,
nanar mata mencari jejakmu
dari ucap tanya pada sesiapa,
terjawab kau ada di sana, kau ada di sini.
Tahun berganti dan kabar yang terkirim selalu tak pasti
Kuduga waktu akan memintal ingatan, mengembalikanmu padaku.
Di sana dalam timangan lentik jemari, kisah tentangmu tetap tertanam kuat.
Aku menyimpan sesal waktu demi waktu. Kau menyanyikan tembang yang selalu
bersemayam di dasar kenangan.
Ibu,
selalu kuingat butir butir air mata
mengalir di pipi, keringat bergulir di tengkuk,
membasahi baju yang kau kenakan sehari-hari
sepeda tua kau kayuh sekuat tenaga yang tersisa
membawa tanggungjawab terselubung; nasi bungkus untuk kami.
Kau menghela nafas panjang sembari mengusap kepalaku;
“Bangunkan adik-adikmu, Ibu bawa nasi bungkus, makanlah!”
Ibu,
di tengah belantara beton kokoh tak ada rasa
kulemparkan pandang mencari sisa bayangmu
ragamu lenyap tak berbekas, bahkan siluet pun enggan membayang.
Semua musnah bersama nyanyi sunyi di kesenyapan malam.
Bahkan kenangan tentangmu engan menyelinap.
Rinduku mematri sesal tak berkesudahan.
Januari, 2022
Sisa Kisah
Sambil merajut malam,
kucari rindu di segumpal kenangan
ternyata kisah yang tertera, hanya berupa
lintasan peristiwa, timbul tenggelam di pembuluh kata
dengan membaca semua makna yang tertulis, maka apa
yang tersirat dalam kalimat per kalimat tak lagi buntu.
Kemudian,
kisah itu telah berubah
menjadi sajian renyah pelepas kantuk
ingatanku pulih kembali bersama desirnya angin
berhembus semilir, singgah di dedaunan telingaku.
Sisa kisah tanpa koma tak akan menjadi manekin semu,
sebab cerita tentang tanah telah tercerabut dari akarnya.
Bangsa ini perlahan berjalan dalam kemurungan yang maha dalam
saling menyakiti, membelengu harap dan kemerdekaan
ada rasa takut berpadu, mendatangkan ketidakjelasan
ada persaingan terselubung, menggerogoti tiap benak
ada pemaksaan yang diyakini dengan dengus emosi
ada permusuhan dalam selimut tipis, ruang tanpa batas.
Lalu,
persahabatan bias berjalan tak menentu
rasa benci tercipta jika satu prinsip dipertahankan
jalinan kata hanya polesan semu meluncur penuh sandiwara
di sana, dalam pemaksaan kehendak antara teman dan lawan,
berpadu mengukuhkan pendapat bahwa dialah yang maha terbenar
dan akhirnya persatuan pun luruh, terlarung dalam benak ego yang bersumber dari ide samar.
Tak akurat
tak ada lagi tawa
tak ada lagi canda
semua saling curiga
memandang dengan mata nyalang
mencari dosa tersembunyi, abstrak dari tatapan tiap mata
satu kata yang seharusnya menjadi pemersatu berubah total
dengan usungan beragam imaji, mencekoki tiap kepala untuk mengikuti aturannya
memangkas kemerdekaan untuk memilih apa yang dirasa nyaman
Kaum hipokrit menyusunnya menjadi beragam ide dan kehendak
menyusup di benak buta aksara, mencuci otak sang dungu
menunjukkan jalan ke surga yang penuh tanya
menggiring kebodohan
berbentuk anarki brutal
mencengangkan
Jalan tengah tak lagi bermakna
baik ekstrim kiri maupun kanan bermegah jemawa
mengubur rasa kemanusiaan yang pernah bersemayam di dada
saat dunia berguncang dengan segala bencana dan kemiskinan,
mata tengadah ke atas. Hati bicara, memanggil lirih nama Semesta, dekaplah aku
Tuhan yang diteriakkan. KataNya; “Aku ada di hatimu, tapi kau mencari yang ada namun tiada.”
Sisa kisah selalu begitu.
Januari, 2022
Baca juga: Kebiri Kimia di Laci Menteri
Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Fanny Jonathans Poyk, penyair, cerpenis, dan novelis, kelahiran Bima, Sumbawa, namun dibesarkan di Bali. Ia adalah pendiri Museum Mini, Rumah Tulis dan Baca Gerson Poyk. Alumnus program Jurnalistik di Institut Ilmu Sosial dan Politik, Jakarta. Pernah bekerja sebagai redaktur pelaksana di Tabloid Fantasi (1994-2004). Menulis puisi, cerpen, dan esai sejak 1974. Karyanya berupa puisi dan cerpen termaktub dalam puluhan antologi. Cerpen-cerpennya telah dipublikasikan di berbagai surat kabar daerah, nasional dan luar negeri (Sabah, Malaysia). Ia menjadi salah satu pesastra Indonesia terpandang yang bionarasinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Rusia oleh para peneliti sastra Indonesia di luar negeri. Sering diundang memberikan pelatihan kepenulisan kreatif secara luring dan daring. Kini, tinggal di Kota Depok, Jawa Barat. Ilustrasi: Yopi Cahyono. (SK-1)