Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Siapa Nama Penyair Itu? 

Iwan Jaconiah
11/12/2021 12:40
Siapa Nama Penyair Itu? 
(MI/Dok Sutardji Calzoum Bachri )

DI depan rumah berpagar warna biru muda dan kuning, taksi menurunkan kami. Jalan beraspal masih basah usai diguyur hujan deras sejak siang sampai senja, itu. 

Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, 80, tampak kaget. Ia buru-buru memasang kaca matanya dan menengok ke arah luar dari balik pagar. Memastikan siapa gerangan tamu kali ini. 

“Bang Tardji, ini Nagra,” teriak pelukis Syahnagra dari depan sisi jalan. “Hoi, sini ayo masuk!” jawab Tardji, sapaan akrab Sutardji, saat ditemui di kediamannya. “Sehat Bang?” tanya Syahnagra sembari basa-basi ala seniman. “Sehat, sehat, sehat-lah. Senin mau divaksin,” tutur Tardji. 

Peraih Anugerah Sastra ASEAN (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand, 1979, itu nampak segar bugar saat menerima kehadiran kami di bilangan Perumahan Jatibening II, Pondok Gede, Sabtu (4/12), pukul 15.05 WIB. 

Sore itu, Tardji lebih santai. Ia bersarung merah kotak-kotak, berbaju kaos putih, dan berlapis jaket hitam. Di sudut pintu utama, ada dua ekor kucing sedang tertidur pulas. Sejurus, mereka langsung terbangun. Lantaran, bunyi pagar mengagetkan mereka. 

Sejenak, perlahan-lahan Tardji memisahkan satu per satu kursi yang bertumpukan di sudut tembok beranda. Ia mengaturnya agar kami dapat duduk bersama-sama. Beranjangsana dan bercerita di beranda rumah lebih pas sebab udara bertiup sepoi-sepoi. 

“Silakan duduk. Ada gerangan apa kalian ke sini?” cetusnya. “Hari baik, jadi kami berkunjung ke Bang Tardji. Situasi pandemi mulai perlahan-lahan membaik ya,” ucap Syahnagra, bijak. “Saya senang kalian ke sini,” jawab Tardji, sinis seraya memasang maskernya. 

Pertemuan beberapa jam itu, tidak dijadwalkan atau direncanakan. Semuanya mengalir begitu saja. Sebagaimana ‘Kredo Puisi’ Tardji pada 1973 bahwa penciptaan puisi pada dasarnya pembebasan kata-kata. Artinya, mengembalikan kata pada mulanya, yaitu mantra. 

Saya mengartikan pertemuan tanpa janjian adalah pembebasan kata-kata juga. Tidak harus bikin janji, asalkan niat baik dan tulus. Semua pastinya berjalan lancar. Toh, Tardji, 'jebolan' Universitas Padjadjaran, Bandung, itu sehingga tak asing bagi saya. 

Sejam sebelum tiba di kediaman Bang Tardji, saya dan Syahnagra sempat makan siang bermenu tongseng di Jalan Hankam, Jakarta Timur. Kebetulan, dari warung tongseng itu, tidak begitu jauh untuk bertamu ke rumah Tardji. 

Kami pun memutuskan tuk mengunjungi sang pesastra itu sebab sudah lama tak ngopi bareng-bareng. Terakhir, saya bersua Tardji di warung kopi, persis di sisi selatan gerbang masuk Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, pada 2015. 

Itu terjadi beberapa pekan sebelum saya berangkat sekolah lagi ke Moskwa, Rusia. Kini, saat pulang ke Jakarta, saya tidak melihat warung-warung semberawut di depan TIM. Kawasan tersebut dalam proses revitalisasi oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. 

Ketika nama AS Pushkin dilupakan Sutardji Calzoum Bachri.

Tak mengherankan, kehadiran kami di rumah Tardji terbilang mengejutkan sang tuan rumah. Ya, sebab tanpa berkabar terlebih dahulu. “Rusia memang gudangnya sastrawan dunia. Siapa penyair hebat itu?” Tardji bertanya membuka diskusi. 

Kami bertiga saling memandang sejenak. Saya tak langsung menjawab karena tidak begitu memahami pernyataan atau pertanyaan Tardji. “Maksud Bang Tardji penyair Rusia?” timpal saya. “Iya, yang itu… Siapa namanya yang sangat terkenal itu?” sambung alumnus International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1974-1975), itu. 

Tardji menaruh tangannya di dagu. Ia sedikit ragu dan takut salah menyebut sebuah nama penyair yang dimaksudkannya sendiri. Saya pun menerka beberapa nama. “Brodsky,” ucap saya. “Bukan!” timpalnya. “Apa Mandelstam?” sambung saya. “Bukan! Siapa ya?” sambar Tardji. 

Kami duduk termangu seperti orang kehilangan akal. Beberapa menit terdiam sejenak. Masih memikirkan siapa nama tokoh penyair yang dimaksudkan Tardji. “Terkenal sekali kog,” lanjut Tardji, penasaran akan sebuah nama, itu. Ia kini menaruh telunjuk ke ujung pelipis kanannya. 

"Gorky?" saya kembali membuka perbincangan. "Bukan! Dia tewas karena saling duel, adu pistol," lanjut Tardji. "Oh, Pushkin toh!” cetus saya. “Benar, Pushkin, ha ha ha,” ucap Tardji, tertawa. "Sang penulis Eugene Onegin, Alexander Sergeyevich. Ia maha dewa-nya penyair Rusia,” jawab saya. 

Sejenak, semua tanpa kata-kata. Angin masih bertiup sepoi-sepoi mengeringkan jemuran pakaian di belakang kursi Tardji. Pikiran saya pun bercabang. Otak mulai berbicara sendiri; mungkin Tardji sengaja tidak menyebutkan nama Bapak Bahasa Rusia itu. Barangkali ia sekadar menguji saya. Atau, memang Tardji lupa karena kian berusia lanjut. 

Tardji pernah bekerja sebagai redaktur khusus puisi di Majalah Horison dan Harian Kompas. Ia pastilah mengetahui segudang penyair dunia. Tidak hanya tokoh romantik realisme AS Pushkin (1799-1837), namun juga penyair Prancis Victor Hugo (1802-1885). 

Pembicaraan ala ‘tebak-tebakan’ itu membuat kami pun tertawa dan kian ngakak. “Kalian mau minum apa? Teh atau kopi?” tawar Tardji. “Saya kopi saja,” ujar Syahnagra sembari melirik ke arah saya. “Saya setuju, kopi sangat pas sore-sore begini,” timpal saya. 

Budaya membaca 

Duduk bercerita ditemani tiga cangkir kopi plus kue kering di toples. Itu membuat semua lebih cair. Tardji pun mulai menceritakan sedikit pengalaman semasa aktif sebagai ‘penjaga gawang’ rubrik puisi di berbagai media massa. 

Baginya, pekerjaan seorang ‘penjaga gawang’ merupakan sebuah tanggung jawab besar. Apalagi, tidak semua kiriman penulis harus diloloskan. Intinya, harus ada keseriusan dalam menulis puisi. 

“Tugas menyaring puisi terbaik dari yang maha terbaik. Memang sulit menentukan pilihan. Namun, redaktur puisi memiliki panggilan untuk dapat menentukan secara bijak, tepat, dan pas,” ocehnya sembari menyeruput kopi hangat. 

Dunia perpuisian Indonesia memang tidak segesit perpuisian Barat. Mereka menjadikan puisi sebagai jati diri bangsa. Untuk itulah, Tardji pun sependapat agar di era serba digital ini, puisi harus beradaptasi dengan medium digitalisasi. "Jangan sampai puisi itu dihilangkan di rubrik sastra,” pesan Tardji. 

Diskusi ringan berjalan alot. Sejam berselang, Tardji tiba-tiba setop berceloteh. Ia bergegas angkat kaki dari beranda untuk menunaikan solat. “Tunggu sebentara ya!” pintahnya. “Baik, Bang Tardji,” jawab Syahnagra. 

Hanya selang semenit, Tardji keluar kembali. Ia membawa dua buku terbaru, yaitu kumpulan puisinya Kecuali (Ilmu Giri, Yogyakarta, 2021) dan Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri: Biografi Kesaksian (Milaz Grafika, Riau, 2021) ditulis oleh Taufik Ikram Jamil. 

Tardji menyerahkan satu per satu buku untuk dibaca. Saya menerima Kecuali. “Kalian baca dulu ya, aku salat sebentar. Ini buku Kecuali, bolehlah dibilang baru, namun puisi-puisi di buku ini yang lama-lama. Hanya beberapa sajalah yang dibuat setahun terakhir,” ungkapnya. 

“Buku bagus ini. Bisa dibeli di mana?” papar Syahnagara. “Boleh baca, tapi jangan dibawa pulang ya. Ini cetaknya terbatas. Tidak bisa ditemukan di Gramedia atau toko buku besar lainnya,” cetus Tardji sembari bergegas untuk berwudu. 

Kredo terakhir 

Buku kumpulan puisi Kecuali memuat puisi-puisi Tardji bertahun 1976-2021. Artinya, ada puisi-puisi lama dipilih kembali untuk diterbitkan. Plus beberapa puisi-puisi barunya yang dibuat selama pandemi berlangsung. 

Puisi berjudul Ngit, misalnya, bertahun 1976, Dentuman bertahun 2020, dan Rumah bertahun 2020-2021. Puisi-puisi teranyar ditulis di rumahnya saat terjadi lockdown alias pembatasan keluar rumah. Itu menjadi permenungan yang mendalam bagi Tardji. 

Dalam perjalanan di dunia puisi, Tardji terkenal sebagai 'penyair bir'. Kredonya ialah pandangan akan kebebasan kata-kata yang dimaknainya sebagai mantra. Kata-kata dalam sajak dapat ditulis sungsang, dipotong, dan dibalik susunannya. 

Tardji masih berpegang bahwa menulis puisi adalah membebaskan kata-kata. Artinya, mengembalikan kata pada awal mulanya. Sementara kredo kedua, yaitu inti dari ujung jalanan pencarian di dunia. Ini hal paling menarik karena puisi-puisinya bertema religius. 

Bagi Tardji, kredo kedua semacam perpanjangan kebebasan menulis dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Di era pandemi, ia pun lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama istri Mariam Linda dan putri tercinta Mila Seraiwangi. 

Lelaki asal Rengat, Riau, itu patut mendapatkan predikat sebagai Mpu Penyair Indonesia. Meski, tidak begitu jelas predikat sebagai ‘Presiden’ Penyair Indonesia ditahbiskan dan dilantik oleh siapa dahulu. Itu membuat Tardji beristana pada kata dan mantra. 

“Sepengetahuan saya, pada era 80-90-an, Bang Tardji sendirilah yang melantik dirinya sebagai 'presiden' penyair, ha ha ha. Pernah suatu kali, ia pentas di TIM. Ia terbang menggunakan tali,” cetus Syahnagra dengan wajah berseri-seri. 

Predikat bukan menjadi ukuran. Asalkan, karya-karya menggaung hingga ke dunia. Sutardji membuktikan hal tersebut. Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Rusia. 

Ada empat sajak terjemahan Tardji dalam bahasa Rusia. Keempatnya ialah Shang Hai, Solitude, Batu, dan Tanah Air Mata. Pengalihbahasaan dilakukan oleh peneliti utama asal Rusia Victor Pogadaev. Puisi-puisi itu termaktub dalam antologi puisi Mencari Mimpi, Moskwa, 2016. 

Totalitas Tardji mengarungi dunia puisi membuat kata seakan punya sayap. Ia menjadi teladan bagi generasi kini. Memberikan pesan kuat bahwa seorang penyair hanyalah manusia biasa, tetapi dapat menulis secara luar biasa. 

Gelap turun lebih cepat di musim penghujan. Tepat pukul 18.05 WIB, kami pun pamit baik-baik untuk pulang ke rumah masing-masing. Syahnagra harus mencari kafe ber-wi-fi. Ia hendak mengikuti acara zoom dengan teman-temannya di Stockholm, Swedia. 

“Titip salam ya untuk penerjemah asal Rusia itu,” ucap Tardji melirik saya seraya mengeratkan lilitan sarungnya. “Siapa dia? Bang Tardji ingat namanya, nggak?” tanya saya sembari melangkah melewati pagar warna biru muda dan kuning, itu. 

“Kami pernah bertemu di Kuala Lumpur. Aduh, siapa namanya?” sambung Tardji. “Siapa ya?” timpal Syahnagara. “Dia menerjemahkan puisi-puisi saya ke bahasa Rusia,” tutup Tardji seraya bergegas menutup rapat pagar besi. 

Sebuah nama Tardji maksudkan tak sempat terjawab di ujung pertemuan kami senja, itu. Saya tak menjawab sebab tak mau berteka-teki. Barangkali ia mau menguji saya untuk kedua kalinya. Menanyakan nama orang yang tak ia ingat lagi. 

Namun, saya yakin, Tardji selalu mengingat nama orang-orang baik dalam hidupnya. Saat puisi-puisi Tardji dan puluhan karya penyair lainnya diterjemahkan ke bahasa Rusia, saya sedang berada di Moskwa, saat itu. 

Pogadaev adalah sang penerjemah. Ia sempat menunjukkan dan memberikan buku Mencari Mimpi kepada saya. Buku itu memuat puluhan nama penyair Indonesia, termasuk Tardji. Antologi puisi diterbitkan dan dicetak secara independen bagi kalangan terbatas saja. (SK-1) 

 

Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor
Baca juga: Sajak-sajak Resiyaman Oratmangun
Baca juga: Sajak-sajak Sihar Simatupang
 

 

 


Iwan Jaconiah, penyair, esais, dan editor puisi Media Indonesia. Ia adalah pesastra Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award pada helatan X International Literary Festival "Chekhov Autumn-2019" di Yalta, Krimea, Rusia. Buku terbarunya kumpulan puisi Hoi! (Terbit Press, 2020).



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah
Berita Lainnya