Headline
Istana minta Polri jaga situasi kondusif.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materiil Pasal 21 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dengan agenda mendengarkan keterangan ahli presiden/pemerintah.
Pakar hukum dan Direktur Kolegium Jurist Institute, Ahmad Redi mengatakan bahwa Frasa 'tidak langsung' yang digugat para pemohon dalam Pasal 21 UU Tipikor tidak bertentangan dengan 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurutnya, frasa 'tidak langsung' dapat memperjelas konteks proses tindak pidana korupsi melalui perantara atau tidak secara langsung sehingga perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan proses hukum yang dilakukan melalui cara-cara yang tidak langsung atau melalui perantara dapat dicegah.
“Untuk memberantas korupsi secara komprehensif termasuk melindungi proses hukum dari berbagai bentuk gangguan langsung maupun tidak langsung, maka secara sistematis frasa 'tidak langsung' ini harus muncul di undang-undang Tipikor,” kata Redi di Gedung MK, dalam sidang gugatan Nomor 106/PUU-XXIII/2025, Kamis (28/8).
Redi menjelaskan setidaknya ada enam hal yang menjadi objek pembatasan terhadap frasa ‘tidak langsung’ dalam pasal yang diuji. Hal itu, diharapkan untuk menjamin efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi yang tidak hanya berfokus terhadap pelaku utama dari tindak pidana korupsi itu sendiri, melainkan juga pihak-pihak yang berupaya melakukan perintangan.
“Ini dapat membatasi pihak-pihak dalam memberikan informasi palsu atau menyesatkan yang dapat menghambat proses penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan. Lalu memberi batas agar saksi tidak mudah dipengaruhi, membatasi penyembunyian bukti dengan menggunakan pengaruh kekuasaan untuk mempengaruhi proses penegakan hukum,” katanya.
Selain itu, frasa ‘tidak langsung’ tersebut juga dapat mencegah adanya intimidasi atau ancaman terhadap penegak hukum saksi, tersangka atau terdakwa, serta menghambat proses penyebaran informasi di media sosial yang dapat mempengaruhi opini publik terhadap proses penyelidikan tipikor.
Sejalan dengan itu, pakar hukum dari Universitas Al-Azhar Indonesia yang juga menjadi ahli pemerintah, Suparji menuturkan bahwa Pasal 21 UU Tipikor tidak melanggar prinsip kebebasan berpendapat. Menurutnya, aturan itu dapat menjamin hak setiap orang untuk mendapat jaminan kepastian hukum yang adil.
“Pasal ini tidak bertentangan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan tetap memenuhi prinsip prinsip kepastian hukum pidana, sehingga tetap dilindungi kebebasan berpendapat dan hak kepastian hukumnya,” tukasnya.
Ia menuturkan bahwa norma tersebut juga tidak menghambat kebebasan berekspresi karena yang ditujukan adalah pihak-pihak yang melakukan perbuatan dengan mens rea atau niat jahat akibat adanya unsur yang dengan sengaja menyebabkan terhambatnya proses hukum.
“Frasa ‘tidak langsung’ jika dilihat secara parsial maka menjadi tidak ada kepastian, tetapi ketika kemudian disatukan frasa itu dengan frasa ‘tidak disengaja’ maka menimbulkan sebuah kepastian,” imbuhnya.
Pada kesempatan tersebut, Hakim Konstitusi Arsul Sani memberikan tanggapan terhadap keterangan ahli pemerintah. Menurut dia, ada ketidak sinkronan antara pendapat ahli dan pendapat pemerintah terhadap dampak dari penggunaan frasa ‘tidak langsung’ tersebut.
“Ahli mengatakan soal frasa ‘langsung dan tidak langsung’ ini tidak dikaitkan dengan pelaku, tetapi justru dalam keterangan pemerintah yang lalu, pemerintah justru mengatakan itu dengan pelaku. Sehingga ini bisa ditafsirkan bahwa keterangan ahli pemerintah dan keterangan pemerintah berbeda,” jelasnya.
Selain itu, Arsul juga mempertanyakan dampak dan kemungkinan apabila dampak frasa ‘tidak langsung’ tersebut dihapuskan. Menurutnya, hal itu lebih relevan dilakukan agar tidak menimbulkan perdebatan tajam.
“Apakah ada pengaruh atau tidak untuk kepentingan penegakan hukum yang sisinya itu kepastian hukum dan keadilan hukum, apabila frass ‘langsung atau tidak langsung’ itu dihapuskan saja dan tidak perlu ada frasa tersebut di pasal 21 UU Tipikor?” ujarnya.
Sebelumnya, para pemohon mengujikan Pasal 21 UU Tipikor karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Pasal 21 UU Tipikor mengatur larangan untuk mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Tindakan tersebut termasuk dalam kategori obstruction of justice atau perintang peradilan dan dapat menjerat setiap orang yang melakukannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui kekerasan, ancaman, intimidasi, janji keuntungan, atau perbuatan lain yang menghalangi proses hukum
“KPK dapat dikatakan telah membuat penafsiran sepihak atas ketentuan yang termuat dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 3, dan frasa 'tindak pidana korupsi' dalam Pasal 6 huruf e UU No. 19 Tahun 2019. Sebab pada kenyataannya Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 oleh KPK dianggap sebagai tindak pidana korupsi, padahal itu merupakan kelompok tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi,” jelas Idalorita selaku perwakilan para pemohon.
Para pemohon menegaskan kembali bahwa KPK hanya bertugas menindak tindak pidana korupsi yang diatur pada Bab II Tindak Pidana Korupsi, yang terdiri atas 22 (dua puluh dua) pasal.
Atas dasar itu, Idalorita menekankan bahwa hal ini menjadi bukti nyata kesewenang-wenangan (abuse of power) atau yang secara sengaja dilakukan oleh lembaga penegak hukum.
Sehingga hal tersebut bertentangan dengan nilai negara hukum yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 serta menjadi preseden buruk dalam sistem penegakan hukum di Indonesia, dan oleh karenanya harus dihentikan.
Para pemohon meminta agar MK menyatakan frasa ‘atau tidak langsung’ dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 UU Tipikor bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Dev/P-2)
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materiil atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dalam perkara 97/PUU-XXII/2024
MK, Kamis (28/8), akan membacakan putusan terkait uji materi Pasal 23 Undang-Undang No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara soal rangkap jabatan wakil menteri (wamen).
Mahfud turut membagikan pengalaman menjelang masa jabatannya sebagai Ketua MK habis.
Fajri menilai proses pemilihan oleh DPR tidak sesuai dengan tata cara pemilihan hakim konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
MK mengatakan selama ini terdapat perbedaan atau ketidaksinkronan peran Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu dengan pelanggaran administrasi pilkada.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved