Headline
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
KOMITE Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) menyatakan keprihatinan mendalam dan menolak keras wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Wacana ini, yang semakin menguat dan didukung oleh Presiden Prabowo Subianto dengan alasan efisiensi biaya, maraknya politik uang dan pencegahan polarisasi politik, dimunculkan karena DPR, dengan koalisi mayoritas pendukung pemerintah, dan juga Pemerintah sendiri tidak setuju dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/2024. Putusan MK tersebut secara tegas telah menutup ruang adanya pemilihan kepala daerah melalui DPRD, dengan memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) Jeirry Sumampow dalam keterangan tertulisnya kepada Media Indonesia, Kamis (31/7) menilai wacana ini sebagai langkah mundur yang berbahaya bagi demokrasi terlebih lagi karena ini tampak sebagai upaya mengabaikan putusan konstitusional. Argumen tentang efisiensi biaya adalah ilusi. Yang terjadi justru pergeseran politik uang dari skala massal ke skala yang lebih tersembunyi, di mana setiap suara anggota DPRD akan menjadi komoditas transaksi politik yang mahal dan sulit diawasi.
TePI Indonesia menegaskan bahwa pengembalian Pilkada ke DPRD akan menghilangkan hak rakyat untuk memilih secara langsung dalam menentukan pemimpin daerahnya. Partisipasi publik yang telah dibangun sejak era reformasi akan runtuh.
"Ini bukan hanya sekadar mekanisme pemilihan, ini adalah inti dari kedaulatan rakyat. Jika rakyat tidak lagi memilih langsung, apa gunanya partisipasi politik mereka. Hilangnya kontrol langsung ini akan memutus ikatan antara pemimpin dan pemilih, serta berpotensi menumbuhkan apatisme politik di kalangan masyarakat," kata Jeirry.
Sejalan dengan itu, kepala daerah yang dipilih oleh DPRD cenderung akan memiliki loyalitas utama kepada partai politik dan anggota dewan yang memilihnya, bukan kepada rakyat. Hal ini akan secara drastis melemahkan akuntabilitas publik mereka. Rakyat akan kehilangan mekanisme langsung untuk menghukum atau memberi apresiasi kepada pemimpin daerah melalui kotak suara.
SURGA OLIGARKI
Jeirry mengatakan sistem ini justru akan menjadi surga bagi oligarki politik. Keputusan tentang siapa yang menjadi kepala daerah akan sepenuhnya berada di tangan elit partai dan koalisi politik di DPRD, seringkali akan mengambil kesepakatan-kesepakatan tertutup. Ini berisiko tinggi melahirkan pemimpin yang tidak representatif dan hanya melayani kepentingan kelompok tertentu.
TePI Indonesia memahami bahwa wacana ini memerlukan revisi signifikan terhadap Undang-Undang Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah. Namun, juga mempertanyakan urgensi dan motivasi di balik langkah mundur ini, terutama ketika ini terlihat seperti upaya menghindar dari putusan lembaga yudikatif.
Sejak reformasi, bangsa ini telah berinvestasi besar dalam mematangkan demokrasi partisipatif. Mengapa kita harus kembali ke sistem yang telah terbukti rentan terhadap praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan kurangnya transparansi dan akuntabilitas, apalagi dengan mengabaikan putusan MK.
Terlihat jelas bahwa wacana ini memiliki dukungan kuat di tingkat eksekutif dan berpotensi mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen, mengingat keselarasan pandangan antara Presiden dan sebagian besar fraksi di DPR RI. Jika koalisi pendukung pemerintah bersatu, kemungkinan besar usulan ini akan lolos.
"Karena itu, TePI Indonesia menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil, akademisi, dan partai politik yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi untuk bersatu menolak wacana ini. Sebab demokrasi bukan hanya tentang efisiensi, tapi tentang representasi, akuntabilitas, dan partisipasi rakyat. Jangan biarkan demokrasi kita dikorbankan demi kepentingan sesaat, apalagi dengan mengesampingkan pilar hukum dan konstitusi," tegas Jeirry. (E-2)
Sistem pemilihan langsung merupakan hasil dari perjuangan reformasi dan tidak semestinya dihapus begitu saja.
Mendagri Tito Karnavian mengatakan, pemilihan kepala daerah (Pilkada) dapat dilakukan dengan cara tidak langsung, alias dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sebagaimana pernyataan Prabowo, kata dia, negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia pun sukses menyelenggarakan pilkada tidak langsung.
Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan perhelatan pilkada di Papua harus memiliki mekanisme khusus yang berbeda dari wilayah lainnya.
MK memerintahkan 24 daerah untuk menggelar PSU secara keseluruhan maupun sebagian.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved