Headline
Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.
SEJUMLAH koalisi masyarakat sipil mengapresiasi lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29/2025 tentang Dana Bantuan Korban (DBK) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang diteken Presiden Prabowo Subianto sejak 18 Juni lalu. Walau telat, PP itu disebut akan mengimplementasikan DBK yang sebelumnya sudah diatur dalam UU Nomor 12/2022 tentang TPKS.
"Pengesahan PP DBK menjadi satu langkah awal negara dalam mendukung implementasi DBK serta menegakkan pemajuan hak korban kekerasan seksual secara konkret," kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Asry Alkazahfa, Selasa (1/7).
Kendati demikian, Asry menyoroti bahwa PP DBK-TPKS belum mampu mengatur secara jelas sumber pendanaan DBK dari anggaran negara. Padahal, kejelasan pendanaan negara itu penting untuk memastikan dukungan finansial yang stabil. ICJR sendiri sempat merekomendasikan agar negara menetapkan kebijakan alokasi anggaran dengan persentase tertentu dari PNBP Penegakan Hukum untuk pendanaan DBK.
"Terlepas dari alternatif sumber anggaran negara tersebut, pada pokoknya negara harus jelas mengatur asal anggaran dan besaran dana yang akan dialokasikan. Sebab, pendanaan merupakan aspek krusial bagi pelaksanaan DBK ke depan," jelasnya.
Selain itu, PP DBK-TPKS juga dinilai belum dapat menjawab permasalahan di lapangan, khususnya peran penting aparat penegak hukum dalam pelaksanaan restitusi. Peraturan tersebut, kata Asry, seharusnya dapat mempertegas koordinasi antara LPSK dan kejaksaan untuk penghitungan aset atau harta kekayaan pelaku. Sebab, kemampuan membayar pelaku hingga potensi sita lelang aset krusial menjamin efektifnya pelaksanaan restitusi.
ICJR dan kelompok masyarakat sipil lain meminta agar Bappenas, Kementerian Keuangan, dan LPSK berkoordinasi lagi untuk memperjelas alokasi anggaran negara terkait DBK dan mengeluarkan kebijakan alokasinya. Di samping itu, kepolisian dan kejaksaan juga diminta melakukan koordinasi sedari awal tahapan pemeriksaan kasus kekerasan seksual dalam rangka menilai aset atau harta kekayaan pelaku sebagai jaminan pembayaran restitusi korban.
Selain ICJR, koalisi masyarakat sipil lain yang menyoroti PP DBK-TPKS adalah KOMPAKS, IPPI, Yayasan lambuina, Yayasan Swara Parangpuan Sulut, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Forum Pengada Layanan, Indonesian Legal Resource Center (ILRC), LBH Masyarakat (LBHM).
Selain itu, ada pula Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Asosiasi LBH APIK Indonesia, Rifka Annisa WCC, Jakarta Feminist, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Perkumpulan DAMAR, WCC Jombang.
Selain itu, santri putra ditemukan lebih rentan (1,90%) dibandingkan santri putri (0,20%), terhadap kekerasan seksual di pesantren.
Selain rekomendasi sanksi terhadap dosen terlapor, tim juga mengusulkan langkah tambahan.
UPAYA yang terukur untuk mewujudkan gerakan mengatasi kondisi darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak harus segera direalisasikan.
KORBAN kekerasan dan kekerasan seksual hingga saat ini masih belum memperoleh jaminan pasti dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kasus ini bermula dari laporan seorang perempuan berusia 24 tahun yang mengaku menjadi korban kekerasan seksual oleh Achraf Hakimi di kediaman pribadi sang pemain di Paris.
Pendanaan pemulihan melalui peraturan ini hanya dapat diberikan setelah mekanisme restitusi dijalani, tetapi tidak ada batasan waktu yang tegas.
Dengan PP 29/2025 maka pengobatan korban kekerasan dan kekerasan seksual yang tidak tercover oleh program jaminan kesehatan nasional (JKN), bisa mendapatkan dana bantuan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved