Headline
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
KOPERASI di tengah berbagai tantangan pembangunan ekonomi perdesaan tetap diyakini sebagai instrumen penting dalam mendorong pemerataan kesejahteraan dan kemandirian rakyat. Namun, fakta di lapangan memperlihatkan bahwa banyak koperasi desa, terutama koperasi unit desa (KUD) dan koperasi-koperasi lokal lainnya, mengalami stagnasi, bahkan berhenti total. Kelembagaannya masih ada, tetapi fungsinya tak lagi berjalan. Karena itu, revitalisasi koperasi desa—yakni menghidupkan kembali koperasi yang mati suri atau yang sekadar formalitas ada—menjadi agenda krusial saat ini. Namun, kita harus berhati-hati agar tidak terjadi jebakan lama yang menghantui koperasi baru.
Presiden Prabowo Subianto telah merespons hal ini dengan menetapkan kebijakan strategis berupa pembentukan Koperasi Desa (KopDes) Merah Putih, yang ditargetkan berdiri di 70.000 hingga 80.000 desa di seluruh Indonesia. Kebijakan ini merupakan langkah terobosan yang patut diapresiasi. Namun, kunci keberhasilannya sangat bergantung pada sinergi multipihak: pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, akademisi, dan komunitas lokal. Tanpa kolaborasi lintas sektor, koperasi desa hanya akan kembali menjadi proyek administratif yang tidak menyentuh akar persoalan ekonomi rakyat yang makin terbawa arus besar ekonomi kapitalistik.
DELIBERATIF DAN KOLABORASI
Selama ini, pembangunan koperasi desa sering kali dilakukan secara teknokratis dan birokratis. Fokus utamanya ialah legalitas kelembagaan dan pelaporan formal dengan suatu mekanisme pengawasan tertentu dari atas, sementara substansi partisipasi dan inovasi ekonomi kerap terabaikan. Padahal, koperasi adalah gerakan sosial ekonomi, bukan hanya lembaga usaha. Karena itu, pendekatan pembangunan koperasi perlu digeser dari administratif menuju deliberatif dan partisipatif.
Jürgen Habermas (1984), seorang sosiolog Jerman, menekankan pentingnya ruang publik deliberatif sebagai basis demokrasi partisipatif. Menurutnya, deliberatif adalah proses bersama secara terbuka dan rasional untuk membuat kesepakatan mencapai tujuan, misalnya melalui dialog atau musyawarah, sehingga semua orang merasa dihargai. Bagi koperasi desa, ruang deliberatif berarti memberi ruang kepada anggota masyarakat untuk menyampaikan ide, gagasan, kritik, dan solusi secara terbuka dan setara.
Koperasi tidak boleh hanya menjadi tempat simpan-pinjam, tetapi juga sebagai arena dialog ekonomi rakyat yang lebih dinamis. Revitalisasi KUD yang sebagian mati suri tidak bisa sekadar menghidupkan struktur lamanya, tetapi harus pula disertai pembaruan nilai, struktur, dan fungsi yang kontekstual dengan kebutuhan masyarakat desa masa kini.
Revitalisasi koperasi desa, termasuk KopDes Merah Putih, tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi juga dibutuhkan kolaborasi multipihak yang kuat dan berkelanjutan. Misalnya, pemerintah desa dan daerah lebih tepat menjadi fasilitator regulatif dan teknis saja.
Sekolah dan perguruan tinggi dapat menyumbangkan pendekatan edukatif dan hasil risetnya, bahkan bisa mengambil peran pendampingan atau pemberdayaan. Pemuda desa dapat menjadi agen inovasi dan digitalisasi. Adapun para pelaku usaha dan komunitas lokal dapat menjadi mitra dalam memperluas jejaring usaha koperasi tersebut.
Menurut data Kemenkop UKM (2023), dari sekitar 127 ribu koperasi aktif di Indonesia, hanya sekitar 25%-30% yang dinilai sehat dan berfungsi optimal, mayoritas di antaranya berada di wilayah perdesaan yang memiliki jejaring kuat dengan komunitas lokal. Salah satu best practice koperasi desa yang berhasil dan dapat direplikasi antara lain Koperasi Agro Niaga Jabung di Malang, Jawa Timur, yang tumbuh dari koperasi peternak sapi menjadi koperasi multipihak yang melayani simpan pinjam, produksi, dan pemasaran hasil pertanian secara terintegrasi.
Kunci keberhasilan koperasi desa tersebut terletak pada manajemen yang transparan, kepemimpinan yang partisipatif, serta kolaborasi erat dengan pemerintah daerah dan sektor swasta. Model seperti ini layak direplikasi untuk memperkuat ekonomi desa secara berkelanjutan.
Pendekatan seperti di atas pernah dikemukakan oleh Frank Tesoriero (2012) bahwa pengembangan ekonomi masyarakat harus dilakukan bersama masyarakat, bukan atas nama masyarakat. Koperasi sebagai alat pemberdayaan ekonomi masyarakat harus dibangun melalui partisipasi warga, bukan instruksi dari atas. Maka, kolaborasi tidak cukup simbolis, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk forum, aliansi, dan sistem kerja bersama yang nyata dalam sistem pendampingan yang baik. Pengalaman masa lalu dengan tanpa pendampingan yang kuat, kegagalanlah yang akan terjadi.
DIKLAT DAN SALING PERCAYA
Salah satu kelemahan penting koperasi desa yang lama (termasuk kebanyakan KUD) ialah minimnya pendidikan dan latihan berkoperasi bagi anggotanya. Banyak warga belum memahami secara menyeluruh prinsip berkoperasi—dari asas sukarela, demokrasi ekonomi, sampai keadilan pembagian hasil. Akibatnya, koperasi menjadi lembaga yang elitis atau formalitas tanpa makna.
Upaya revitalisasi koperasi desa melalui KopDes Merah Putih harus disertai dengan gerakan literasi koperasi secara masif, mulai dari sekolah hingga forum warga. Pendidikan/pelatihan (diklat) berkoperasi ini tidak boleh hanya teoretis, tetapi juga mesti praktis dan berbasis pengalaman terutama aspek keberhasilan dan kegagalan di masa lalu. Sekolah-sekolah di desa bahkan bisa menjadi titik masuk awal melalui pembentukan dan pengembangan koperasi siswa sebagai pelatihan dan laboratorium solidaritas ekonomi generasi muda di desa.
Upaya revitalisasi koperasi desa harus pula dimulai dari membangun kembali kepercayaan. Pengurus koperasi harus mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang terbuka bagi anggota. Keberadaan teknologi digital sangat penting dalam pencatatan transaksi, laporan keuangan, hingga forum anggota untuk membangun kepercayaan dan kontrol sosial yang sehat. Dengan kepercayaan, kopdes bisa menjadi ruang tumbuhnya solidaritas dan inovasi lokal ekonomi desa.
PEMERINTAH SEBAGAI ENABLER
Peran pemerintah dalam program pengembangan KopDes Merah Putih sangat strategis. Namun, keberhasilan program ini akan ditentukan bukan oleh sejauh mana pemerintah mengontrol koperasi desa, melainkan sejauh mana bisa memfasilitasi kolaborasi. Pemerintah idealnya bertindak sebagai enabler—pencipta ekosistem yang mendukung masyarakat mengembangkan koperasi desa secara mandiri dan adaptif.
Peran pemerintah sebagai enabler menuntut perubahan pendekatan dari yang bersifat birokratis ke pendekatan fasilitatif dan partisipatif. Artinya, negara tidak bertindak sebagai pelaku tunggal pembangunan, melainkan sebagai penyedia ruang, regulasi yang inklusif, serta infrastruktur sosial dan ekonomi yang memungkinkan warga desa bergerak secara mandiri.
Pemerintah perlu membangun sistem insentif dan regulasi yang ramah terhadap inisiatif lokal—bukan malah mengekangnya dengan prosedur administratif yang rumit. Ketika koperasi desa diberi kepercayaan, akses, dan pendampingan yang memadai, maka semangat gotong royong dan kemandirian ekonomi warga desa akan tumbuh secara organik. Inilah bentuk nyata demokratisasi ekonomi yang berpihak kepada desa.
Fasilitasi pemerintah dapat berupa pendampingan kelembagaan koperasi; akses permodalan dengan bunga lunak; pelatihan manajemen dan digitalisasi koperasi; mendorong terjadinya kemitraan koperasi dengan BUMDes, UMKM dan swasta; penguatan pasar lokal dan regional bagi produk-produk koperasi desa. Lebih dari itu, pemerintah harus membuka ruang dialog dan evaluasi agar tidak hanya bersifat top-down, melainkan berbasis aspirasi warga desa.
MASA DEPAN EKONOMI DESA
Koperasi desa bukan sekadar masa lalu ekonomi rakyat, tetapi justru sangat relevan untuk masa depan ekonomi Indonesia, terutama untuk menyongsong era digital, ekonomi hijau, dan ekonomi yang keberlanjutan. Kita berharap KopDes Merah Putih dapat menjadi alat transformasi desa menuju ekonomi berbasis komunitas yang inovatif dan adil.
Koperasi desa dapat dikembangkan di hampir semua sektor perdesaan, seperti pertanian, energi, lingkungan, industri kreatif, bahkan platform digital lokal. Untuk itu, maka sangat penting terus memperkuat motivasi masyarakat desa untuk berkoperasi, membangun kesadaran bahwa berkoperasi bukan sekadar kerja kolektif demi kepentingan bersama, tetapi juga sarana nyata untuk menolong diri sendiri secara berkelanjutan.
Pengurus dan anggota perlu melihat bahwa manfaat koperasi dapat dirasakan langsung, seperti akses modal murah, peningkatan kapasitas usaha, dan pasar yang lebih stabil—mirip dengan insentif dalam wirausaha mandiri. Perlu diyakinkan bahwa koperasi yang sehat justru akan dapat memberi keuntungan pribadi secara lebih adil dan tahan lama karena dibangun dari semangat self-help yang terorganisasi—yakni gotong royong yang bukan menghilangkan kepentingan pribadi, tetapi justru memperkuatnya dalam kerangka saling menguntungkan.
Upaya merevitalisasi koperasi desa, terutama melalui program KopDes Merah Putih, adalah peluang emas untuk membangun kembali ekonomi desa. Menggeser pendekatan pembangunan koperasi dari administratif ke deliberatif, memperkuat pendidikan/pelatihan perkoperasian dan modal sosial, serta menjadikan pemerintah sebagai fasilitator/enabler, bukan pengendali, merupakan kunci untuk membangun koperasi desa yang bukan hanya kuat secara kelembagaan, tetapi juga bermakna secara sosial. Kini, saatnya koperasi desa dihidupkan sebagai jantung ekonomi rakyat yang tangguh, adil, dan berkelanjutan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved