Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
PENYIKSAAN warga sipil oleh aparat keamanan dan penegak hukum tercatat semakin meningkat dalam tiga tahun terakhir. Ironisnya penyiksaan itu didominasi oleh anggota Kepolisian RI.
Pemerintah perlu segera menguatkan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas aparat demi mengakhiri praktik penyiksaan, demikian menurut kelompok pegiat hak asasi manusia dan masyarakat sipil dalam diskusi memperingati Hari Anti-Penyiksaan Internasional, Rabu (26/6).
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengingatkan bahwa hak untuk bebas dari penyiksaan dijamin dalam hukum internasional dan konstitusi Indonesia dengan meratifikasi Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Menentang Penyiksaan.
Baca juga : Soroti Video Penyiksaan OAP, PBHI Nilai Pelanggaran HAM di Papua Terus Meningkat
“Meskipun sudah dijamin oleh konstitusi, Amnesty mencatat terdapat setidaknya 226 korban penyiksaan di Indonesia sejak Juli 2019,” ujar Wirya.
Amnesty mencatat terus bertambahnya jumlah penyiksaan oleh aparat penegak hukum dalam tiga tahun terakhir. Periode 2021-2022 setidaknya ada 15 kasus dengan 25 korban, lalu periode 2022-2023 naik menjadi setidaknya 16 kasus dengan 26 korban.
“Bahkan pada periode 2023-2024 melonjak menjadi setidaknya 30 kasus dengan 49 korban,” tambahnya.
Baca juga : Ini Kronologi Kekerasan yang Dilakukan Prajurit TNI pada Anggota KKB Papua
“Selama tiga periode tersebut, pelaku penyiksaan didominasi oleh anggota Polri sebanyak 75%, personel TNI 19%, gabungan anggota TNI dan Polri 5%, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) 1%. Ini merupakan data yang mengkhawatirkan,” lanjut Wirya.
Data Amnesty ini diperkuat oleh pernyataan Anis Hidayah, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dia mengungkapkan bahwa Komnas HAM menerima data pengaduan penyiksaan di hampir seluruh wilayah di Indonesia.
Data pengaduan Komnas HAM terkait kasus penyiksaan periode 1 Januari 2020 – 24 Juni 2024 mengungkapkan terdapat 282 kasus dengan pihak teradu atau diadukan sebagian besar adalah Polri (176), TNI (15), Lapas (10), Lembaga Peradilan (1), Lembaga negara (non-kementerian) (4), dan pemerintah pusat (Kementerian) (3).
Baca juga : Paksa Tiga Pelajar Ngaku Pelaku Klitih, Oknum Polsek Dilaporkan ke Propam
“Klasifikasi kasus yang paling sering disampaikan adalah kekerasan oleh aparat, baik dalam bentuk interogasi dengan penyiksaan, penggusuran/relokasi, kekerasan pada tahanan, begitu pula pembunuhan atau penganiayaan oleh aparat, pemeriksaan terhadap pelapor dan/saksi disertai intimidasi dan perlakuan tidak manusiawi, maupun penangkapan dengan penggunaan senjata api secara berlebihan,” kata Anis.
Pada tanggal 9 Juni, publik dikejutkan dengan dugaan penyiksaan polisi terhadap beberapa anak di Kota Padang, Sumatra Barat, dengan dalih melakukan penertiban wilayah dari aksi tawuran. Insiden tersebut menyebabkan salah satu dari mereka meninggal dunia, yaitu remaja berinisial AM (13).
Direktur LBH Padang, Indira Suryani, mengungkapkan bahwa AM ditemukan meninggal di bawah Jembatan Batang Kuranji, Padang, dengan bekas luka-luka kekerasan. “Kami menduga tidak hanya AM, tapi anak-anak lainnya mendapat penyiksaan yang diduga dilakukan aparat. Mereka ditangkap dan disiksa karena dituduh melakukan tawuran,” kata Indira.
Baca juga : DPR Harap Relokasi Kawasan di Rempang Dilakukan Secara Bermartabat
LBH Padang, lanjut Indira, sudah melapor kepada Propam Polda Sumatra Barat dengan mengawal kasus ini agar memperoleh keadilan bagi para korban.
Penyiksaan pun sering kali dilaporkan terjadi dalam proses hukum untuk mendapatkan “pengakuan” dari tersangka. Ini seperti yang ditemui oleh pengacara publik di Nusa Tenggara Barat, Yan Mangandar Putra, saat mendampingi sejumlah warga di Kabupaten Dompu yang menjadi terpidana mati atas kasus mutilasi.
Kelima warga itu dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi (PT) Mataram pada 18 Januari 2018 terkait kasus mutilasi dan kini mereka tengah menunggu Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung.
Yan mengungkapkan bahwa sebelumnya polisi di Dompu memeriksa enam tersangka dalam kasus pembunuhan yang disertai mutilasi itu. “Para tersangka mengalami kekerasan oleh karena penyidik merekayasa agar mereka mengakui telah melakukan pembunuhan berencana dengan cara mayat korban dimutilasi. Selama sekitar 2 minggu mereka, terutama dua tersangka di antaranya, sering mengalami penyiksaan,” ujar Yan.
Sondang Frishka Simanjuntak, Koordinator Tim Advokasi Internasional dari Komisi Nasional Perempuan, menyatakan bahwa terus bermunculannya kasus penyiksaan ini menunjukkan tidak adanya penegakan hukum yang transparan, akuntabel, jujur dan adil terhadap para pelaku penyiksaan.
“Mekanisme internal yang menekankan hukuman administratif cenderung melegalkan impunitas. Begitu pula kurangnya pemahaman dan pengetahuan petugas penegak hukum mengenai hak-hak para tahanan,” lanjut Sondang.
Sebagai jalan keluar menghentikan penyiksaan, Sondang pun mendesak pihak berwenang harus segera berhenti menormalisasi berbagai bentuk kekerasan, dimulai kekerasan berbasis gender. “Serangan-serangan seperti Sergap, Buser, penangkapan cepat yang diekspos ke publik dan dipermalukan ini kan dinormalisasi. Jadi harus segera dihentikan, bahkan main hakim sendiri juga harus segera diselesaikan.”
Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional, Benny Jozua Mamoto, mengungkapkan pihaknya menerima banyak laporan pengaduan penyiksaan, termasuk dugaan penyiksaan aparat atas remaja AM di Padang.
Kompolnas, menurut Benny, akan menindaklanjutinya dan sepakat bahwa kasus-kasus penyiksaan aparat harus segera dihentikan. Salah satu caranya, merekomendasikan kepada Polri perlunya penggunaan peralatan pendukung untuk mencegah kekerasan.
“Seperti pemasangan CCTV di ruang pemeriksaan dan ruang tahanan. Lalu penggunaan body camera bagi anggota yang bertugas di lapangan saat penangkapan, surveillance, penanganan unjuk rasa dan lain-lain,” ujar Benny.
Menutup acara diskusi, Wirya menyatakan bahwa sudah seharusnya pemerintah Indonesia segera meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT) demi mengakhiri praktik penyiksaan aparat penegak hukum.
“Dengan meratifikasi OCPAT, Indonesia akan memiliki payung penguatan mekanisme akuntabilitas dan sistem pemantauan penahanan yang terintegrasi dengan berbagai lembaga pengawasan dan perlindungan HAM,” ujar Wirya. (Z-8)
JARINGAN Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mengutuk keras kasus penyiksaan terhadap PRT Intan di Batam, Kepulauan Riau (Kepri)
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia serta buruknya pelayanan kepolisian kepada masyarakat merupakan fakta yang dirasakan publik.
Dengan masih adanya praktik penyiksaan dalam proses-proses penyelidikan maupun penyidikan, maka itu tidak akan memecahkan suatu perkara
Komnas HAM mencatat bahwa institusi Polri menjadi institusi yang paling banyak diadukan dalam dugaan praktik penyiksaan sepanjang periode 2020 hingga 2024.
KUHAP baru yang bakal menggantikan peninggalan Belanda itu tak lagi memberikan ruang bagi penyidik kepolisian untuk melakukan penyiksaan terhadap tersangka.
SEBANYAK enam anggota Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar diduga menjadi pelaku penyiksaan dan pemerasan terhadap seorang warga yang berasal dari Kabupaten Takalar.
POLDA Metro Jaya mengungkap 1.449 kasus kejahatan jalanan sepanjang April hingga Juni 2025. Dari ribuan kasus tersebut terdapat tiga kasus yang menonjol.
TAWUR ialah fenomena kekerasan yang belakangan ini banyak berkembang di kalangan kelompok remaja yang berasal dari sekolah dan wilayah yang berbeda.
Komnas Perempuan mengecam dan menyayangkan mediasi damai dalam kasus kekerasan seksual terhadap N.
MUSISI dan penyiar Gusti Irwan Wibowo atau dikenal dengan Gustiwiw meninggal dunia di penginapan yang berlokasi di Jalan Maribaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat
Komnas Perempuan mencatat sepanjang 2024 telah terjadi 330.097 kasus kekerasan berbasis gender (KBG), meningkat sejumlah 14,17% dibandingkan 2023.
AMNESTY International merilis laporan tahunan 2024 yang mengungkapkan bahwa praktik otoritarian semakin menjangkiti negara-negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved