Headline
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
ANGGOTA Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Bintan Saragih membongkar praktik buruk yang dilanggengkan para hakim konstitusi. Mereka disebut terbiasa membiarkan pelanggaran terjadi.
"Praktik pelanggaran benturan kepentingan sudah menjadi kebiasaan yang dianggap wajar," kata Bintan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, (7/11).
Bintan mengatakan hal itu bahkan terjadi terhadap pimpinan lantaran ada budaya kerja yang ewuh pakewuh. Sehingga prinsip kesetaraan antar hakim terabaikan dan praktik pelanggaran etika biasa terjadi.
Baca juga : Ada Putusan MKMK, Ini Rekayasa Lalin Saat Pembacaan Putusan Etik Mahkamah Konstitusi
"Dengan demikian para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, prinsip kepantasan, dan kesopanan, penerapan angka 1," ujar dia.
Baca juga : Mayoritas Publik Setuju Putusan MK Bentuk Penyalahgunaan Wewenang Presiden
Bintan mencontohkan pertimbangan putusan Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Ada benturan kepentingan masa jabatan hakim konstitusi dan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.
"Pertimbangan ini merupakan contoh dari adanya tradisi bahwa memeriksa perkara yang berpotensi munculnya benturan kepentingan tidak dilakukan secara hati-hati dengan konstruksi argumentasi yang meyakinkan," ucap dia.
Selain itu, budaya saling mengingatkan antar sesama hakim hilang. Hal tersebut dinilai menjadi persoalan tersendiri.
"Para hakim konstitusi secara bersama-sama membiarkan terjadinya praktik pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang nyata tanpa kesungguhan untuk saling ingat-mengingatkan antar hakim," tutur Bintan. (Z-8)
Mahkamah Konstitusi membacakan putusan terhadap 15 perkara pengujian undang-undang.
Tim dari Kemendagri, lanjutnya, melakukan pengecekan dan survei ke lapangan sebagai upaya penyelesaian sengketa. Menurutnya itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada.
Putusan MK Nomor 104/PUU-XXIII/2025 selanjutnya akan dibahas lebih lanjut. Ia mengatakan perlu regulasi yang detail untuk menjalankan putusan MK tersebut.
Titi Anggraini mengatakan putusan tersebut telah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Semua pihak harus berhati-hati dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135 tahun 2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved