Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
HAKIM Majelis Konstitusi (MK) Suhartoyo menjelaskan hakim MK secara prosedural bisa mengubah bunyi putusan. Perubahan bunyi putusan dengan salinan putusan dilakukan sesuai dengan kalimat yang tepat dan disepakati oleh para hakim.
"Berkaitan dengan prolog saudara saya perlu sampaikan juga supaya publik juga bisa paham. Kalau Anda berpendapat bahwa ini (perbuhaan bunyi putusan) baru terjadi di satu-satunya di MK tolong Anda renungkan kembali," ujar Suhartoyo saat memberikan nasihat permohonan perkara 17/PUU-XXI/202 Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK yang diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak di Jakarta, Kamis (16/2/2023).
Suhartoyo menjelaskan MK sebelumnya pernah melakukan perubahan putusan secara prosedural. Perubahan bunyi putusan merupakan praktik yang boleh dilakukan di lembaga peradilan termasuk Mahkamah Agung (MA) dan juga MK.
"Bahwa itu memang setelah dibacakan itu, diketahui memang kalimatisasinya lebih tepat seperti ini dan itu disepakati oleh para hakim," ujar Suhartoyo.
Suhartoyo menjelaskan perubahan bunyi putusan bisa dilakukan sepanjang memenuhi mekanisme yang berlaku. Namun, terkait kasus perubahan bunyi putusan perkara 103PUU-XX/2022 yang saat ini sedang ditangani oleh Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Suhartoyo menyebut majelis hakim tidak bisa memberikan respons terkait hal tersebut karena sedang ditangani oleh MKMK.
"Untuk yang Anda persoalkan ini kami tidak bisa memberikan respons tanggapan. Tapi secara general saya sampaikan bahwa jangan Anda beranggapan bahwa tidak boleh putusan yang sudah dibacakan berubah. Boleh saja sepanjang memang justru lebih bermanfaat terhadap putusan itu sendiri," ungkapnya.
Menanggapi pernyataan Suhartoyo, ditemui seusai persidangan Zico tidak menampik bahwa memang hakim bisa mengubah putusan yang sudah dibacakan. Namun hal tersebut harus memenuhi dua syarat yakni persetujuan oleh semua hakim dan wajib memberitahukan kepada pihak berperkara yang menerima salinan.
"Dalam perkara 103 tidak satu pun terpenuhi. Tidak mendapat persetujuan hakim sehingga MK bereakkasi dengan membentuk MKMK untuk mengusut. Serta saya juga tidak diberitahu mengenai perubahan itu," ungkapnya. (P-2)
Rifqinizamy menjelaskan ada sejumlah hal yang membuat turbulensi konstitusi. Pertama, Pasal 22 E ayat 1 menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun.
WAKIL Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melampaui kewenangan konstitusional karena menetapkan pemisahan pemilu nasional dan lokal
Umbu mengatakan MPR tidak berwenang menafsirkan putusan MK yang nantinya berdampak pada eksistensi dan keberlakuan putusan MK. Ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat.
Berbagai anggota DPR dan partai politik secara tegas menolak putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 soal pemisahan waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.
DPR memerlukan pijakan yang kuat agar tak bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada saat ini.
Pihaknya bersama dengan beberapa Kementerian/Lembaga juga masih berupaya memetakan implikasi dari putusan MK.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved