AFP Soroti Kepolisian di Tragedi Kanjuruhan dan Panggung Nasional

Mediaindonesia.com
05/10/2022 19:10
AFP Soroti Kepolisian di Tragedi Kanjuruhan dan Panggung Nasional
Mobil polisi terbalik akibat kericuhan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jatim.(Antara/H Prabowo.)

KEPANIKAN massa di stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang menewaskan 131 orang memicu kemarahan terhadap pihak kepolisian. Lembaga tersebut telah lama dituduh oleh para kritikus menggunakan kekerasan yang berlebihan.

Polisi, yang menggambarkan kejadian pada Sabtu (1/10) malam itu sebagai kerusuhan, mengatakan mereka mencoba memaksa para pendukung untuk kembali ke tribun dan menembakkan gas air mata setelah mereka menyerbu lapangan. Namun para penyintas--yang menggambarkan polisi memegang pentungan dan menembakkan gas air mata ke penonton yang tak berdaya--menuduh mereka bereaksi berlebihan. Ini akhirnya berujung pada salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah sepak bola.

Polisi, bersama dengan militer, telah terlibat selama beberapa dekade dalam menekan perbedaan pendapat, memadamkan kerusuhan, menghancurkan kelompok-kelompok Islam radikal, dan melabuhkan perang berdarah pemerintah melawan separatis di Papua, Aceh, dan Timor Timur. Kekuatan kepolisian telah tumbuh dalam kekuasaan sebagai lembaga yang digunakan untuk keamanan negara sejak jatuhnya kediktatoran militer Indonesia di bawah Suharto pada akhir 1990-an.

Data yang ditinjau oleh kantor berita dari Prancis, AFP, menunjukkan pasukan bersenjata lengkap didanai hingga ratusan juta dolar AS untuk peralatan antihuru-hara taktis sejak Joko Widodo naik ke kursi kepresidenan pada 2014. Pengeluaran untuk perlengkapan taktis pengendalian massa--pentungan, gas air mata, masker gas, tameng, dan kendaraan--telah melonjak dalam beberapa tahun terakhir. 

Itu menurut angka yang dikumpulkan oleh Andri Prasetiyo, seorang peneliti di LSM Trend Asia, yang menganalisis pembelian pemerintah. Mereka telah menghabiskan hampir seperempat miliar dolar AS dalam waktu kurang dari satu dekade, katanya, untuk menyiapkan petugas yang menggunakan sesuatu yang para ahli katakan sering kali merupakan kekuatan berlebihan dan hampir selalu tidak dihukum.

Pada 2014, polisi menghabiskan US$6 juta untuk gas air mata. Pada 2022, angka itu naik menjadi US$10 juta. Dalam periode antara itu, polisi menghabiskan lebih dari US$68 juta untuk pengadaan gas air mata.

Di Jawa Timur, lokasi tragedi di kota Malang berada, polisi menghabiskan US$3,2 juta untuk membeli pentungan pada Januari 2022. "Mereka menggunakan uang pajak kami untuk membunuh kami," kata Prasetiyo.

Sembilan perwira elite polisi yang diskors setelah insiden itu masih dalam penyelidikan dan berasal dari unit yang terkenal karena taktik pengendalian massanya yang agresif. Semua ialah komandan di Korps Brimob, atau Brimob, unit yang bertindak sebagai unit paramiliter operasi khusus untuk kepolisian Indonesia.

Sejak pemilihan Jokowi, mereka telah digunakan untuk menghancurkan lawan-lawan pemerintah, kata para aktivis. Anggaran mereka sejak itu terus bertambah untuk memiliterisasi pasukan. "Dulu kekuatan paling brutal di militer ialah pasukan khusus. Saya pikir mereka (Brimob) sekarang semakin dikenal sebagai pasukan khusus militer," kata Usman Hamid, direktur Amnesty International Indonesia. "Mereka digunakan sebagai tongkat."

Seorang juru bicara kepolisian tidak segera dapat dihubungi AFP untuk dimintai komentar.

Sentimen publik 

Penyerbuan pada Sabtu itu tampaknya tidak ada hubungannya dengan politik. Namun ketidaksenangan masyarakat dengan para pemimpin sering terdengar di lapangan sepak bola dan beberapa fans Arema FC meneriakkan kata-kata kotor kepada polisi saat kekacauan dimulai.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat 677 insiden kekerasan yang dilakukan polisi antara Juli 2021 hingga Juni tahun ini yang menewaskan 59 orang dan melukai 928 orang. Pada tahun-tahun sebelum pandemi covid-19, insiden seperti itu melonjak. Pada 2018 hingga 2019, Kontras mencatat 643 kasus kekerasan. Pada tahun berikutnya tercatat 921 kasus.

Setidaknya 10 pengunjuk rasa dibunuh secara tidak sah dalam kerusuhan pascapemilihan pada 2019. Kebanyakan dari mereka mati dengan tembakan dalam kasus-kasus yang tidak dibawa ke pengadilan, menurut kelompok hak asasi manusia. "Polisi merasa berada di atas hukum dan dapat melakukan apa saja yang dianggap perlu," kata Ardi Manto Adiputra, wakil direktur kelompok hak asasi manusia Imparsial, kepada AFP.

Tidak adil

Banyak orang Indonesia takut siklus kekerasan ini tidak akan pernah berakhir tanpa hukuman bagi petugas. Masalah utama dalam membawa mereka ke pengadilan ialah sedikit pengawasan di dalam atau luar kepolisian dan hubungan dekat antara polisi dan pemerintah. Fatia Maulidiyanti, koordinator Kontras, mengatakan itu kepada AFP.

Para ahli mengatakan Jokowi telah membantu menempatkan sekutu polisi di posisi kunci setelah pasukan itu mendukung upaya pemilihannya baru-baru ini. Artinya, kata Maulidiyanti, hanya sedikit tindakan yang diambil terhadap petugas yang melakukan dugaan kejahatan. "Sanksi terhadap petugas yang bersalah tidak adil. Mereka jarang dibawa ke pengadilan pidana," katanya.

Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan yang menolak mengkritik polisi atas penyerbuan itu ialah mantan Kapolres Jakarta.
Kepala intelijen negara itu ialah wakil dari kepolisian. Kepala Komisi Pemberantasan Korupsi ialah Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri.

Transparency International menempatkan kepolisian nasional sebagai salah satu institusi terkorup di Indonesia. "Jika kita tidak melakukan sesuatu, saya pikir Indonesia akan menjadi negara polisi,” kata Hamid dari Amnesty International. (OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya