Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Leter C Kerap Jadi Alat Bukti Kendati Tidak Ada yang Asli

Media Indonesia
03/7/2022 22:50
Leter C Kerap Jadi Alat Bukti Kendati Tidak Ada yang Asli
Ronny F Sompie (kiri) dan Mumu Mugaera Djohar.(Dok pribadi)

KASUS perdata yang menyangkut masalah pertanahan tak lepas dari masih digunakannya alat bukti hak-hak lama seperti leter C atau girik, leter D atau petok, verponding, dan lain-lain. Tragisnya, dalam banyak kasus perdata tanah, leter C atau leter D masih juga diterima sebagai alat bukti. 

"Padahal leter C adalah catatan pembayaran pajak, seperti catatan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB). Jadi bukan bukti pemilikan tanah. Ini harus dipahami oleh para penegak hukum, termasuk penyidik, penuntut umum dan hakim," ujar Ketua Bidang Perundang-undangan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI) oleh Ketua Bidang Perundang-undangan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI) Mumu Mugaera Djohar dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (3/7).

Ketua Pengurus Daerah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Kabupaten Tangerang, Banten ini juga mengingatkan bahwa Leter C, petok, verponding, dan segala dokumen tanah yang lama sudah tidak berlaku sejak Oktober 1987. Batas waktunya sudah lewat 35 tahun tapi faktanya masih saja ada yang menggunakan dokumen-dokumen itu di pengadilan. 

"Sekarang ini tidak ada lagi leter C yang asli. Paling-paling yang ada cuma Catatan Leter C. Itu pun pasti bukan asli," ujar Mumu dalam diskusi terbatas Konflik Pertanahan yang digagas advokat Dr Ir Albert, Kuhon, MS SH, Sabtu (2/7), dihadiri antara lain mantan Kadiv Humas Polri Irjen (purn) Ronny F Sompie, SH MH, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila Prof Dr Agus Surono, SH MH, serta akademisi dari Universitas Nahdatul Ulama Indonesia Amsar Dulmanan dan Hasan Muaziz SH MH.

Putusan keliru

Albert Kuhon mengungkapkan, diskusi itu digagasnya karena keprihatinan akan maraknya perkara perdata tanah. Setiap tahun rata-rata ada sekitar 3.000 putusan perdata tanah di seluruh pengadilan di Indonesia. Hal itu setara 10 putusan perkara perdata tanah per hari kerja (asumsi 1 tahun setara 300 hari kerja). Atau ada 85,5 putusan perdata tanah per provinsi per tahun. 

"UU Pokok Agraria 1960 yang dikenal sebagai UUPA sudah terbit 60 tahun lebih, tapi urusan keabsahan kepemilikan tanah di Indonesia masih juga karut-marut," tutur advokat yang juga wartawan senior itu.

Sedang Mugaera Djohar menilai sengkarut itu antara lain disebabkan oleh tidak konsistennya sikap pemerintah dalam menangani kemelut pertanahan. UUPA dan berbagai turunan peraturannya sudah bagus, tetapi tidak diterapkan secara konsisten. Semestinya semua pihak menyadari bahwa segala dokumen tanah yang lama sudah berakhir dan tidak berlaku lagi sejak Oktober 1987. 

Mafia hukum

Sementara itu, Ronny F Sompie menegaskan bahwa mafia tanah adalah mafia hukum. Menurut pengalamannya sebagai penyidik, orang yang bisa merebut hak kepemilikan tanah pihak lain tidak bekerja sendirian. Dalam urusan perkara perdata, orang itu pasti bekerja sama dengan ahli hukum, penegak hukum, pihak pengadilan dan pihak-pihak lain. 

Ia mengungkapkan sambil menjalankan perkara perdata, orang itu juga melakukan gempuran melalui media dan penekanan-penekanan dengan pengaduan pidana. Tekanan-tekanan seperti itu bisa mengakibatkan penegak hukum bertindak menyimpang. 

"Dalam urusan pidana, bukan mustahil orang itu bekerja sama dengan oknum penyidik, mengadukan kasus penyerobotan tanah atau pemalsuan surat. Jadi memang mafia tanah sebetulnya adalah mafia hukum," tegas Ronny.

Ronny menegaskan, hakim perkara perdata sering tidak memeriksa perkara secara materiil. Pembuktian selalu dibebankan kepada pihak yang mendalilkan. "Hakim memang harus menegakkan hukum sehingga kepastian hukum bisa terjamin. Selain kepastian hukum, hakim juga harus menegakkan kepastian keadilan," tuturnya.

Kegagalan para hakim memahami peraturan pertanahan, sering mengakibatkan putusan perkara pertanahan menyimpang dari kepastian hukum dan kepastian keadilan. Pemilik tanah secara sah dan memiliki sertifikat tanah, bisa dikalahkan oleh orang yang mengaku memiliki girik atau petok. 

"Padahal zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi leter C yang asli," ujar Mugaera. "Saya setuju, mafia tanah itu memang mafia hukum." (RO/O-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya