Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KETUA Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menyampaikan bahwa sidang pengujian materiil Undang-Undang No. 2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua terhadap UUD 1945, masuk pada tahap akhir. Para pihak diminta untuk menyerahkan kesimpulan ataupun keterangan tambahan pada Mahkamah.
"Ini sidang terakhir UU Otsus Provinsi Papua. Penyerahan kesimpulan paling lambat 7 hari kerja sejak sidang terakhir (17/5), atau paling lambat Rabu (25/5)," ujar Anwar Usman saat sidang UU Otsus dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari pemerintah di ruang sidang pleno, MK, Jakarta, Selasa (17/5).
Baca juga: KPU Harap Bawaslu dan PTUN Bisa Selesaikan Sengketa Proses Pemilu
Perkara pengujian UU Nomor 47/PUU-XIX/2021 itu diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP). MRP menguji sejumlah pasal dalam UU Otsus antara lain Pasal 6 ayat 1 huruf b, ayat 2, ayat 3, ayat 4, ayat 5 dan ayat 6, Pasal 28 ayat 1, ayat 2 dan ayat 4, Pasal 38 ayat 2, Pasal 59 ayat 3, Pasal 68A ayat 1 dan Pasal 76 ayat 1,2 UU Otsus. Adapun hal-hal yang dipermasalahkan yakni anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) oleh dapat dipilih melalui pemilihan umum dan dapat diangkat dengan mempertimbangkan masukan MRP. MRP juga mempermasalahkan pembentukan badan khusus penerapan Otsus Papua yang anggotanya dianggap mayoritas berasal dari pemerintah pusat, juga pemekaran daerah otonomi baru yang dapat diusulkan oleh pemerintah pusat, keberadaan partai politik lokal, serta ketentuan lainnya. Pemerintah, pada sidang terakhir menghadirkan dua ahli yakni Prof. Mohammad Laica Marzuki yang merupakan mantan hakim MK, dan Ahli Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid.
Prof. Laica menjelaskan, frasa kata "dapat" yang diatur pada Pasal 6 dan Pasal 6A UU Otsus Papua bahwa anggota DPRP dan DPRK dapat diangkat dari orang asli Papua (AOP) yang jumlahnya seperempat dari jumlah anggota DPRP dan DPRK yang dipilih melalui pemilihan umum, bertujuan agar orang asli Papua tetap terakomodasi.
"Adapun frasa "dipilih" sesuai aturan perundangan merupakan penegasan bahwa pemilihan umum diatur secara nasional. Namun secara mutatis mutandis, mendudukan unsur orang asli Papua sesuai representasi daerah otonomi khusus Provinsi Papua," terang dia.
Lalu, terkait pemekaran daerah otonomi baru seperti diatur pada Pasal 36 ayat 1 dan 2 UU Otsus Papua, menurut ahli pembentuk UU tetap membuka peluang bagi MRP dan DPRP memberikan persetujuan terhadap pemekaran daerah otonomi baru. Namun, ia menegaskan pemekaran DOB harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesiapan sosial dan budaya sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.
"Pasal 76 ayat 1,2, dan 3 UU Otsus Papua menperluas kewenangan MRP yang dapat memberikan persetujuan pada pemekaran daerah otonomi baru. Bukan hanya pemekaran pada provinsi, tapi hingga tingkat kabupaten/kota," ucapnya.
Ahli menjelaskan, daerah otonomi khusus secara konstitusional adalah bagian dari Negara Kesatuan RI (NKRI). Sehingga, tidak boleh dipahami sebagai daerah tertutup (closing area) setiap orang boleh membangun di daerah otonomi khusus sepanjang tidak menjadikan kepentingan ekonomi, sosial, budaya penduduk asli tergerus.
Fahri Bahmid menambahkan frasa kata "dapat" tidak mengandung permasalahan konstitusional. Kata dapat dalam teori perundang-undangan merupakan satu frasa atau diksi yang bersifat opsional. Ahli menjelaskan secara sekilas, pengangkatan anggota DPRP dan DPRK melanggar UUD 1945. Tetapi, pemilihan umum tetap berlaku.
Tetapi, karena Papua merupakan daerah khusus otonomi, menurutnya ada tambahan pengaturan untuk mengakomodir orang asli Papua.
"Dengan memperhatikan kekhususan atau keistimewaan suatu daerah dengan kebijakan afirmatif dapat saja diberlakukan dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan konstitusional," tegasnya. (OL-6)
Nason meminta majelis hakim PTUN Jakarta untuk membatalkan keputusan Mendagri tersebut.
MAJELIS Rakyat Papua (MRP) menjaring aspirasi masyarakat (asmara) terkait pelaksanaa Otonomi khusus (Otsus) di Papua dan Papua Barat yang akan berakhir tahun depan (2021)
MRP dianggap sebagai lembaga yang tepat untuk menampung aspirasi orang asli Papua terkait kebijakan Otonomi Khusus Papua yang akan berakhir pada 2021 yang akan datang.
Selama 20 tahun terakhir, KPPOD menilai pemberian dana otsus kepada Papua dan Papua Barat tidak berdampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.
Anggota DPR Papua Boy Markus Dawir mengatakan, revisi UU Otsus itu sangat penting dan berdampak terhadap Orang Asli Papua (OAP) di Tanah Papua.
Gobay mengatakan terdapat lima mahasiswa yang luka-luka akibat tindakan represif yang dilakukan oleh kepolisian.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved