Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menegaskan kembali pendiriannya bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bukan merupakan lembaga peradilan. Peraturan yang lahir dari putusan DKPP dapat dijadikan objek gugatan di pengadilan tata usaha negara (TUN).
Permohonan yang diajukan dua anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yakni Evi Novida Ginting Manik dan Arief Budiman itu mempersoalkan frasa "final dan mengikat" pada Pasal 458 ayat 13 UU No 7/2017. Menurut para pemohon, norma final dan mengikat pada putusan DKPP membuat putusannya tidak dapat ditafsirkan lain oleh presiden, KPU RI, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan Bawaslu.
Padahal menurut Surat Mahkamah Agung (SEMA) No.4/2016 menegaskan, peraturan yang muncul menindaklanjuti putusan DKPP adalah putusan tata usaha negara yang dapat diuji ke PTUN.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan di ruang sidang pleno, MK, Jakarta, Selasa (29/3).
Baca juga: Temui Surya Paloh, AHY Berharap Dapat Bersinergi dengan Partai NasDem
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah pernah memutus pengujian Pasal 112 ayat (12) UU No 15/2011 tentang Pemilu sebelum direvisi, pada 3 April 2013 dengan norma pengujian yang sama, yakni mengatur putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Meskipun telah diputuskan oleh MK, pembuat undang-undang, terang Suhartoyo, justru tetap mempertahankan frasa itu dalam Pasal 458 ayat (13) UU No 7/2017.
Karenanya, Mahkamah menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai putusan sebagaimana dimaksud mengikat bagi presiden, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dan Bawaslu merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di pengadilan TUN.
Terhadap putusan pengadilan TUN yang berkekuatan hukum tetap, Mahkamah menegaskan, itu harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Mahkamah juga mengingatkan DKPP memiliki kedudukan yang setara dengan penyelenggara pemilu lainnya, yakni KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Mahkamah menegaskan ketiga penyelenggara pemilu tersebut memiliki kedudukan sederajat dan tidak ada satu yang memiliki kedudukan superior," tegas Suhartoyo.
Seperti diberitakan Evi Novida Ginting sempat dijatuhi putusan pemberhentian tetap oleh DKPP karena pelanggaran kode etik. Kemudian ia mengugat keputusan itu ke PTUN. Sedangkan Arief Budiman diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua KPU RI karena mendampingi Evi selama persidangan di PUTN dan dianggap tidak mematuhi putusan DKPP. (P-5)
Perkara yang masuk ke DKPP tidak semua dapat ditindaklanjuti sebab tidak cukup bukti.
Kelima isu tersebut juga menjadi akar berbagai pelanggaran etik penyelenggara pemilu.
Anggota DKPP, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengungkapkan selama hampir 13 tahun DKPP berdiri, pihaknya selalu menerima aduan yang masuk.
Aduan Masyarakat Sipil terkait pelanggaran kode etik penggunaan jet pribadiĀ oleh KPU RI dinyatakan belum memenuhi syarat oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Koalisi masih memiliki waktu tujuh hari untuk memperbaiki pengaduan di DKPP yang tenggatnya jatuh pada 13 Juni mendatang.
Penyewaan jet itu telah mencoreng prinsip kejujuran, proporsional, akuntabel, dan efisiensi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved