Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

RUU Perikatan Tengah Dikebut

Cahya Mulyana
27/2/2022 10:00
RUU Perikatan Tengah Dikebut
Ilustrasi(Medcom)

KETUA Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) Yohanes Sogar Simamora mengatakan, sejak 2019, pihaknya berupaya merampungkan naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Perikatan. Tujuannya untuk melakukan pembaruan dan pengembangan hukum keperdataan yang saat ini sumber utamanya terdapat dalam Buku III KUHPerdata.

“Naskah akademik RUU Perikatan yang disusun oleh Tim APHK dikoordinir oleh Prof Joni Emirzon dari FH Unsri Palembang, sedang dalam proses finalisasi,” katanya, Minggu (27/2).

Menurutnya, penyusunan naskah akademik RUU Perikatan ini, merupakan salah satu agenda penting APHK. Tujuannya untuk melakukan pembaruan dan pengembangan hukum keperdataan yang saat ini sumber utamanya terdapat dalam Buku III KUHPerdata.

Baca juga: Ada Kesalahpahaman Tujuan dan Fungsi Pendidikan dalam Revisi UU Sisdiknas

“APHK mengusulkan agar dibuat dan diundangkan suatu UU khusus tentang perikatan. Hukum kontrak merupakan salah satu bagian penting yang diatur di dalamnya,” tuturnya.

Ia mengatakan APHK mengusulkan pembaruan terhadap KUHPerdata untuk mengakomodasi kebutuhan hukum di tengah masyarakat. 

Koordinator Tim APHK Joni Emirzon menyampaikan KUHPerdata Indonesia peninggalan Belanda sudah berusia sekitar 181 tahun. 

“Sangat ironis belum dilakukan pembaruan secara keseluruhan. Di pihak lain, perkembangan kehidupan masyarakat sangat pesat atau dinamis dan makin kompleks,” ujarnya.

Pembaruan hukum perdata di Indonesia diharapkan akan terbentuk tatanan hukum baru yang sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia dan mempertahankan identitas hukum perikatan yang dilandaskan pada nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi hukum nasional.

Menurutnya, struktur naskah akademi RUU Perikatan yang tengah disusun ini terdiri dari 6 BAB, yakni BAB I Pendahuluan, BAB II Kajian Teoritis dan Praktis Empiris, BAB III Evaluasi dan Analisis Perundang-Undangan, BAB IV Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis, ?BAB V Jangkauan Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup Materi, dan BAB VI Penutup.

Selanjutnya, Sogar yang juga menjadi salah satu pembicar dalam webinar ini, menyampaikan, dalam menyusun naskah akademik RUU Perikatan ini, dilakukan studi perbadingan ke sejumlah negara, yakni Belanda, Jerman, Perancis, dan Jepang untuk memperluas cakrawala pandang tentang perkembangan hukum perikatan.

“Di negara-negara itu tidak lagi diatur ketentuan mengenai sumber perikatan sebagaimana dalam Pasal 1233 KUHPerdata,” katanya.

Guru Besar Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu menjelaskan pembaruan hukum perdata di negara-negara tersebut dilakukan dengan cara rekodifikasi yang tampaknya tidak cukup realistis untuk Indonesia. Yang lebih relistis adalah melakukan pembaruan secara parsial.

Ia mengusulkan pengaturan yang harus dilakukan, yakni perbutan hukum (juridical acts), perikatan pada umumnya, berakhirnya perikatan, perikatan yang lahir dari perjanjian/kontrak, perikatan yang bersumber di luar perjanjian/kontrak, ketentuan peralihan, dan bagian penjelasan.

Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Anangga W. Roosdiono menyampaikan kompetensi absolut penyelesaian sengketa perlu dispesifikkan.

Pasalnya, lanjut Anangga, realitasnya tidak jarang pengadilan negeri tetap memproses atas dasar pengadilan tidak boleh menolak perkara. Ini terjadi karena tidak ada mekanisme dismissal procedure dalam pengadilan tersebut.

Hal tersebut berbeda dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang bisa menolak suatu perkara dari administrasi awal. 

"Keharusan dalam menegaskan pilihan penyelesaian sengketa tidak boleh mencantumkan secara alternatif: 'dapat diselesaikan melalui pengadilan atau arbitrase',” tutupnya. (OL-1) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya