Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Pengamat: Pelayanan Publik Berbasis Digital Dilematis

Indriyani Astutti
01/2/2022 14:42
Pengamat: Pelayanan Publik Berbasis Digital Dilematis
Petugas menunjukkan aplikasi M-Paspor(ANTARA FOTO/Didik S)

PEMERINTAH mendorong pelayanan publik diterapkan secara daring ataupun berbasis aplikasi selama masa pandemi. Namun, dalam laporan Ombudsman RI pada akhir 2021, banyak daerah terutama pemerintah kabupaten/kota yang masuk dalam zona merah dalam hal kepatuhan pelayanan publik.

Analis Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan pandemi seharusnya menjadi momentum evaluasi pelayanan publik. Ia menyebut penggunaan layanan berbasis digital mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan dari pelayanan secara daring, terang Trubus, bisa menekan potensi maladministrasi jika dibanding layanan secara tatap muka. Namun, kekurangannya juga cukup banyak. Pasalnya, pengembangan aplikasi digital untuk pelayanan juga membutuhkan biaya tinggi. Selain itu, sambung Trubus, masih banyak sumber daya manusia yang menjadi ujung tombak layanan publik, tidak terampil menggunakan informasi dan teknologi.

"Pemerintah daerah dihadapkan keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia. Ini harus dipacu agar mereka melatih pegawai untuk paham tentang informasi teknologi. Yang tidak paham IT dipensiunkan dini," ujar Trubus ketika dihubungi, Selasa (1/2).

Baca juga: Si Doi Mas, Cara Banyumas Respon Jokowi Terkait Akselerasi Pelayanan Publik

Penggunaan digitalisasi dalam pelayanan publik, terang Trubus, juga membutuhkan sosialisasi masif pada masyarakat. Belum semua masyarakat, ujar dia, paham dengan aplikasi-aplikasi yang dikembangkan instansi pemerintah. Karenanya, saat ini menurut Trubus masih banyak masyarakat yang mengandalkan pelayanan tatap muka.

"Untuk kondisi di daerah dengan anggaran terbatas, tentu pelayanan harus tatap muka tetap dilakukan. Karena menggunakan aplikasi juga membutuhkan anggaran. Model layanan tatap muka tetap berjalan tapi dengan pengawasan yang ketat," tuturnya.

Tanpa pengawasan yang proaktif, Trubus menuturkan masih ada celah penyimpangan dalam metode pelayanan publik secara tatap muka. Sehingga menurutnya tidak heran banyak keluhan mengenai pelayanan publik yang dilayangkan ke Ombudsman RI.

Di sisi lain, Ombudsman juga tidak punya kewenangan untuk mendesak pemerintah daerah taat terhadap rekomendasi yang diberikan.

Pemerintah daerah pun, ujar Trubus, beralasan tidak punya anggaran untuk memperbaiki pelayanan.

"Ombudsman selama ini hanya menerima keluhan, banyak penyimpangan di daerah mereka tidak bisa bertindak apa-apa. Hanya mengeluarkan rekomendasi dan mendata," tutur Trubus yang juga merupakan Kepala Bidang Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI).

Dengan masalah dan kendala seperti yang ia sampaikan, perbaikan kualitas pelayanan publik, ujar Trubus, bergantung pada komitmen kepala daerah. Menurutnya ada sejumlah daerah yang cukup baik memaksimalkan pelayanan publik secara daring seperti Kota Solo dan DKI Jakarta. Namun, di daerah- daerah lain, imbuh dia, ada kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi berkaitan dengan suap perizinan, pengadaan barang dan jasa ataupun lelang jabatan.

"Mereka berpikir mumpung masih menjabat apalagi jika ingin kembali menjabat. Kepala daerah yang ditangkap KPK banyak tidak lepas dari masalah pelayanan publik seperti perizinan dan lelang jabatan," pungkasnya.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya