Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
KETIADAAN batas waktu pelimpahan perkara dalam KUHAP menjadi salah satu masalah penegakan hukum di Tanah Air. Jaksa dan kepolisian sejatinya mampu bekerjasama untuk memangkas waktu proses penyelesaian perkara dari penyidikan hingga pelimpahan ke pengadilan.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo menyampaikan pandangan tersebut dalam sidang lanjutan uji materi KUHAP dengan agenda mendengarkan keterangan ahli di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (16/5).
"Seharusnya dari titik dimulainya penyidikan untuk mengumpulkan alat bukti, sebelum sampai pada titik menemukan tersangka, semestinya sudah ada SPDP (surat perintah dimulainya penyidikan)," ujarnya.
Pengujian undang-undang (PUU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tersebut teregistrasi dengan nomor perkara 123/PUU-XIII/2015 dan 130/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Victor Santoso Tandiasa dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) serta Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Norma yang diuji dalam sidang MK, antara lain Pasal 50 ayat (1) dan (2), Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan (2), Pasal 149, dan Pasal 14 huruf i.
FKHK selaku pihak pemohon menilai frasa "segera" dalam UU <i>a quo<i> tidak memberikan jangka waktu yang pasti sehingga tidak menjamin dan memberikan ruang bagi seorang tersangka untuk mendapatkan kepastian hukum.
Sementara Mappi FHUI menyatakan sejumlah ketentuan prapenuntutan dalam KUHAP justru semakin melemahkan peran penuntut umum. Pasalnya, kerap timbul kesewenangan penyidik hingga berlarutnya penanganan tindak pidana saat dilakukan proses penyidikan.
Sidang uji materi KUHAP yang menghadirkan saksi ahli Teuku Nasrullah dan Pujiono, sambung hakim MK Patrialis Akbar, terbilang sangat menarik karena ada perbedaan penafsiran perihal SPDP.
"Kalau menurut Pujiono, diferensiasi fungsional itu jaksa tidak boleh lagi lakukan pemeriksaan tambahan karena itu tugas penyidik. Tapi, Nasrullah bilang boleh walaupun konsep awalnya sama, diferensiasi fungsional," terang dia.
Patrialis melanjutkan, kedua saksi ahli diimbau agar bisa mempertajam lagi maksud penafsiran tersebut lantaran banyak perkara yang dipersoalkan pemohon.
Menurut Suhartoyo, konteks SPDP lebih elok jika tidak dilihat dari perspektif fungsi koordinasi penyidik dan penuntut umum, namun lebih ke arah perspektif perlindungan HAM.
"Pujiono mengatakan momentum SPDP tepat diberikan ketika dilakukan penyidikan berupa upaya paksa. Nasrullah menjelaskan, oleh karena SPDP itu dalam bagian upaya paksa, semestinya meskipun wajib tapi tetap diberi kelonggaran," jelasnya. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved