Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Formappi: Wacana Hukuman Mati Sulit Diwujudkan karena Berhadapan dengan Oligarki

Mediaindonesia.com
03/12/2021 14:09
Formappi: Wacana Hukuman Mati Sulit Diwujudkan karena Berhadapan dengan Oligarki
Peneliti Formappi Lucius Karus(Antara)

PENELITI Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus tidak yakin Kejaksaan Agung bisa merealisasikan wacana hukuman mati bagi koruptor. Pasalnya, dibutuhkan keberanian melawan melawan oligarki yang penuh dengan praktik korupsi. Apalagi masih banyak kasus korupsi yang mangkrak di tangan Kejagung.

"Kondisi ini didukung fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Komisi III DPR RI terhadap Kejaksaan Agung hanyalah formalitas. Jadi tak mungkin terealisasi wacana hukuman mati koruptor tersebut," kata Lucius, Jumat (13/12).

Ia menyebut dengan iklim korupsi yang sistematik di Indonesia, membuat gagasan hukuman mati tak akan mudah didukung oleh elite parpol maupun DPR. "Karena korupsi selalu dekat dengan elite maka tak mungkin mereka merancang hukuman berat bagi diri mereka sendiri," kata dia.

"Saya kira seperti itulah kinerja Komisi III DPR, lebih banyak formalitas saja terhadap kinerja kejaksaan gitu. Saya kira mungkin Komisi III juga punya alasan karena kalau membicarakan kasus-kasus mangkrak itu jangan-jangan mereka juga justru dianggap mengintervensi," katanya lagi.

Menurut Lucius, semestinya DPR bisa mengawasi dari sisi manajemen Kejaksaan. Ketika senuah kasus lama terbengkalai tanpa kejelasan itu mestinya tugas DPR untuk mempertanyakan ke Kejaksaan. "Jadi saya kira memang tidak banyak yang bisa diharapkan dari Komisi III untuk mendorong Kejaksaan Agung untuk memproses kasus-kasus yang mangkrak itu," ujarnya.

Lucius pun menilai kinerja Kejagung belum maksimal, meskipun dalam kasus tertentu mendapatkan apresiasi karena inisiatifnya untuk menangani korupsi. "Tapi itu kemudian tidak bisa menutupi banyaknya kinerja Kejaksaan lain yang sampai sekarang itu tidak tuntas," kata Lucius.

Ia mengatakan bahwa hal itu seharusnya menjadi acuan bagi DPR untuk lebih tegas lagi dalam mengawasi kinerja Kejagung. Namun, menurutnya DPR yang diisi oleh berbagai kalangan, tentu tak bebas dari kepentingan, sehingga tidak bisa tegas terhadap kinerja Kejaksaan.

"Walaupun kita tahu sendiri juga Komisi III tidak bebas kepentingan sama sekali terhadap kejaksaan. Karena kebanyakan dari mereka adalah pengacara dan lain sebagainya. Jadi kemungkinan konflik kepentingan itu yang membuat kemudian fungsi pengawasan Komisi III terhadap kejaksaan juga tidak terlalu bisa tegas seperti yang diharapkan," lanjutnya.

Belakangan Kejaksaan lebih menyoroti kasus Jiwasraya dan Asabri. Menurutnya hal itulah yang seharusnya dilakukan DPR untuk menegur Kejaksaan agar jangan hanya berkutat dengan satu dua kasus saja yang ditangani dan membiarkan kasus lainnya mangkrak. Apalagi kemudian kasus tersebut ditengarai membuat kegaduhan terkait penyitaan asetnya.

"Mestinya peran pengawasan itu bisa mendorong Kejaksaan Agung untuk bersikap adil terhadap kasus-kasus yang sudah ditangani. Itu saya pikir ketika dia hanya fokus pada satu kasus dan kemudian membiarkan kasus yang lain mangkrak, mungkin kita bisa menilai atau menduga Kejagung telah tebang pilih," ujarnya.

Sementara mantan ketua Komisi Kejaksaan, Halius Hosen menyebut tidak mudah bagi seorang jaksa menuntut orang dihukum mati. "Karena syarat daripada hukuman maksimum itu tidak ada sedikitpun perbuatan yang meringankan. Jadi dia benar-benar tidak ada sedikitpun alasan jaksa untuk mengatakan ada perbuatan yang meringankan," kata dia.

Menurut Halius Hosen yang juga mantan Sesjamwas, hal itu adalah petunjuk hukum yang harus dijadikan pedoman bagi jaksa agar benar-benar tidak sembarangan menuntut koruptor untuk dihukum mati.

"Jadi bagaimana letak efektifnya hukuman mati itu? Apakah pada hukumannya saja, atau pada proses penuntutannya, atau proses eksekusinya? Ini pembicaraan yang nggak bisa sepotong-potong, 'oh jaksa agung melakukan hukuman mati' jangan begitu dong. Jaksa Agung harus punya kajian yang sangat mendalam dan matang serta berkaca pada banyak negara lainnya," lanjutnya.

Banyaknya kasus mangkrak merupakan pekerjaan rumah dan hutang yang harus menjadi prioritas untuk diselesaikan Kejagung. "Karena nasib orang digantung-gantung itu juga nggak boleh. Harus jelas jika statusnya tersangka, dihadapkan meja hijau di pengadilan, langsung putuskan. Kalau sudah bertahun-tahun dia nggak jelas itu namanya nggak bener, artinya tidak bertanggungj awab itu sebagai jaksa sebagai penuntut umum," ujar Halius.

Menurutnya, Jaksa Agung seharusnya membuat skala prioritas kasus-kasus mana yang harus diselesaikan segera. Ia menilai kejaksaan memiliki cukup personil jaksa untuk dibagi-bagi menangani kasus tersebut.

"Ini adalah utang kejagung yang harus diselesaikan, karena nasib orang digantung dengan tidak jelasnya bagaimana mereka status kasus hukumnya itu. Apalagi kalau orangnya udah meninggal dunia itu kan sudah harus ditutup itu oleh kejagung," pungkasnya. 

Halius  ikut angkat bicara terkait isu dugaan poligami Jaksa Agung ST Burhanuddin yang beberapa waktu belakangan ini sempat gaduh. "Kalau soal poligami ini kan mengacu pada Undang-undang Perkawinan. Apakah pernikahan Jaksa Agung dengan istri kedua yang katanya jaksa ini sesuai prosedur atau tidak, kan sampai saat ini memang kurang jelas," kata dia.

Adapun Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, meminta Jaksa Agung, ST Burahanuddin, tetap fokus meningkatkan kinerjanya dan tidak perlu menghiraukan isu poligami yang dilaporkan LSM Jaga Adhyaksa ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). (Ant/OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya