Bagir Manaan Sebut Revisi UU MK Langgar Asas Keterbukaan

 Indriyani Astuti
18/11/2021 16:25
Bagir Manaan Sebut Revisi UU MK Langgar Asas Keterbukaan
Bagir Manan saat memberikan keterangan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (18/11).(MI/Pius Erlangga )

PERUBAHAN Ketiga Undang- Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) tergolong sebagai UU yang bersifat konstitusional dan perubahannya dapat menyentuh amanat prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Hal itu menurut Ketua Mahkamah Agung periode 2001-2008 sekaligus Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Bagir Manaan, berdampak terhadap tatanan penyelenggaraan negara dan hak konstitusional rakyat di bidang peradilan konstitusional yang dijalankan MK. 

Karenanya, ia menegaskan penyusunan suatu rancangan peraturan perundang- undangan dilakukan dengan baik adalah publikasi sebagai suatu bentuk transparansi dan transparansi merupakan bentuk akuntabilitas. Demikian disampaikan dalam sidang uji formil Undang-Undang No. 7/2020 tentang Mahkamah Konstitusi dengan agenda mendengarkan keterangan dari ahli pemohon di Gedung MK, Jakarta, Kamis (18/11). 

Dalam sidang yang diketuai Hakim Konstitusi Aswanto itu, Bagir menjelaskan dalil pemohon yang menyebut bahwa sidang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam membahas RUU Perubahan Ketiga Undang- Undang MK dilakukan secara tertutup, sehingga dipandang bertentangan dengan prinsip UUD 1945.

"Dalam negara demokrasi, undang-undang adalah perwujudan general will. Salah satu aspek cara mewujudkan general will adalah asas keterbukaan atau openness. Pembahasan tertutup RUU Perubahan Ketiga Undang-Undang MK dapat dipandang tidak sesuai dengan prinsip openness sebagai cara menjamin perwujudan general will yang terkandung makna hak partisipasi sebagai wujud demokrasi," papar Bagir dalam perkara No. 90/PUU-XVIII/2020, 96/PUU-XVIII/2020, 100/PUU-XVIII/2020.

Baca juga: Jaksa Agung 'Lawan' Aktivis HAM soal Hukuman Mati Koruptor

Sehingga, ia menilai baik proses penyusunan yang tidak transparan, maupun pembahasan dalam sidang tertutup terkait UU MK bersentuhan langsung dengan hak- hak publik, antara lain hak atas informasi (the right of information), hak untuk didengar (the right to be heard), hak berpartisipasi (the right of participation), hak untuk mengetahui (the right to know).

Hal lain yang dipersoalkan pemohon ialah perubahan syarat usia pengangkatan masa jabatan ketua, wakil ketua, dan para Hakim Anggota MK. Menurut Bagir, pengangkatan dan pemberhentian dan masa jabatan hakim adalah materi muatan yang diatur dalam UUD 1945, bukan diatur dalam UU.

Di satu pihak, ujar dia, itu cara menguatkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Di pihak lain, untuk mencegah pembentukan UU melakukan politisasi atau politicking terhadap kekuasaan kehakiman.

"Sekalipun hal tersebut diatur dalam undang-undang seperti telah diutarakan, pembentuk undang-undang berusaha menghindari dengan semacam menahan diri atau dengan kehati-hatian yang dalam pengertian kehati-hatian yang dalam apabila akan melakukan perubahan," tegas dia.

Pada intinya Bagir menilai dalam revisi atas perubahan ketiga UU MK, pembentuk UU lebih mengedepakan objek yang diinginkan dan kurang memperhatikan cara-cara yang sudah ditentukan dalam menyusun dan membentuk peraturan perundang-undangan.

Ketua majelis Hakim Konstitusi Aswanto mengatakan itu adalah sidang yang terakhir dan berikutnya kesempatan para pihak untuk memasukkan kesimpulan. " Jadi, tanggal 26 November 2021," ujarnya.

Permohonan uji materi UU MK dimohonkan oleh Priyanto, Allan Fatchan Gani Wardhana, dan Raden Violla, M. Ihsan Maulana, Rahmah Mutiara. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya