Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PARTAI politik di Indonesia cenderung menjalankan sistem kartel yang saling bekerja sama untuk mengamankan sumber daya anggaran. Konsekuensinya, ungkap Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI) Sri Budi Eko Wardani, kepentingan masyarakat sipil sulit untuk menembus parlemen yang dikuasai elite parpol.
"Parpol di Indonesia kelihatannya oposisi padahal sebenarnya saling bekerja sama,” katanya dalam diskusi virtual bertajuk ‘Jalan panjang mendorong perubahan DPR’, Senin (30/8).
Lebih lanjut Sri Budi menyebutkan, praktik kartel parpol ini tercermin dalam berbagai pembuatan UU terutama dalam sektor politik dan ekonomi yang cenderung mengabaikan kepentingan publik luas. Dalam hal ini kepentingan parpol di Indonesia seperti terdiskoneksi dengan rakyat. “Makanya tidak heran apabila parpol di Indonesia sangat pragmatis dan tidak ideologis,” jelasnya.
Pendapat serupa dikemukakan Peneliti Senior CSIS J Kristiadi yang menyebut partai politik di Indonesia saat ini masih mengalami kesulitan untuk mereformasi dirinya. Pasalnya, parpol masih sibuk untuk mengurusi konflik internal yang berlangsung terus menerus. “Sebagai contoh banyak sesama kader parpol yang berkelahi di dapil. Sehingga kesulitan menata diri,” ujarnya.
Ia menyebutkan, pertarungan internal tersebut tidak terlepas dari adanya keinginan kepentingan politik dan keinginan membangun imperium kekuasaan. Akibatnya tidak heran jika publik sering menyaksikan praktik money politics dalam perebutan kekuasaan di parpol maupun pemilu.
Karena itu, tambah Kristiadi, dirinya berharap berbagai elemen masyarakat sipil terus melakukan kritik agar kepentingan rakyat bisa diakomodasi dan disuarakan. “Sehingga rakyat jangan hanya dijadikan angka saja. Hanya dijadikan alat untuk mencari suara saja saat pemilu, begitu (kader parpol) terpilih kemudian lupa dengan rakyat,” tegasnya.
Ia berharap lembaga parlemen dan partai politik bisa diduduki anggota yang mempunyai kompetensi dan kualitas dan bukan hanya berdasarkan potensi kemenangannya. “Karena jeritan, keinginan, keluhan rakyat, dititipkan ke mereka yang diganjar kekuatan martabat (pemimpin). Ini harus jadi refleksi anggota DPR, DPRD, hingga pimpinan parpol, bukan sembarangan. Harus direnungkan,” ujarnya.
Sementara itu anggota DPR dari Fraksi PAN Intan Fauzi menambahkan seharusnya ada titik temu antara aspirasi rakyat dan informasi yang melahirkan kebijakan politik. “Karena itu parpol diharapkan memiliki kader yang memahami kondisi yang ada di masyarakat dan negara,” tegasnya.
Peran sentral
Pada kesempatan itu, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny K Harman menjelaskan, demokrasi di Indonesia ke depan sangat ditentukan oleh kualitas dan tata kelola parpol. Apabila tata kelola dan kualitas parpol jelek, hampir dipastikan kualitas pemimpin yang diajukan dan direkrut parpol kualitasnya juga rendah. “Seorang pemimpin yang direkrut melalui praktik money politics, hampir dipastikan pemimpin ini akan mengembalikan uangnya. Akhirnya banyak kepala daerah dan menteri yang terjerat korupsi,” ungkapnya.
Karena begitu sentralnya, parpol harus dibangun melalui kekuatan yang solid. Parpol harus mengenal problem yang dihadapi masyarakat. Parpol harus menyiapkan kader untuk diajukan menjadi pemimpin. “Problemnya semua itu hanya di tataran ideal. Parpol jadi kehendak sekelompok orang begitupun rekruitmen maupun demokratisasi di masih bermasalah,” tandasnya. (OL-8)
Anggota Komisi VI DPR RI Luluk Nur Hamidah menduga kenaikan harga beras yang tidak terkendali ini merupakan ulah dari permainan pedagang atau kartel
PPU) mulai melaksanakan penyelidikan awal perkara inisiatif atas dugaan pengaturan atau penetapan suku bunga pinjaman kepada konsumen atau penerima pinjaman yang dilakukan AFPI.
KOMISI Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diharapkan lebih mengedepankan pendekatan advokasi kebijakan terkait perkara dugaan kartel minyak goreng (migor).
Itu kesimpulan dari Kajian Penanganan Perkara Dugaan Pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Terkait Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia yang dilakukan LKPU-FHUI.
KPPU menangani kasus dugaan kartel minyak goreng. 27 perusahaan menjadi terlapor
Motivasi pelaku usaha melakukan kartel adalah mendapatkan keuntungan jangka panjang. Apabila kartel dilakukan dalam jangka pendek, probabilitas efektivitasnya menjadi kecil.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved