Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PEMERINTAH melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum dan HAM) telah menyelesaikan rekodifikasi, penyerapan aspirasi hingga sosialisasi Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Payung besar hukum pidana ini mendesak segera disahkan.
"Mengapa RKUHP ini adalah satu hal yang urgent untuk segera disahkan? Sebab kita hidup selama hampir 76 tahun dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti. Padahal, bapak-ibu tahu persis bahwa KUHP yang berlaku di ruang-ruang sidang pengadilan itu telah dipakai untuk menghukum jutaan orang, dihukum dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej pada diskusi bertajuk Diskusi Publik RUU KUHP yang digelar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Senin (14/6).
Gelaran ini dihadiri Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, sejumlah ahli hukum pidana seperti Indriyanto Seno Adji, Yenti Ganarsih, dan Hakristuti Hakrisnowo dan perwakilan DPR RI.
Menurut pria yang akrab disapa Eddy ini, KUHP yang saat ini berlaku penuh ketidakpastian. Pasalnya ketentuan warisan kolonial tidak boleh digunakan setelah lahirnya UUD 1945.
"Saya berani mengatakan bahwa itu KUHP yang dipakai itu yang tidak pasti. Mengapa tidak pasti? UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dia hanya menyatakan berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan bahwa segala badan yang ada dan segala peraturan masih tetap berlaku sebelum diadakan yang baru menurut UUD ini," paparnya.
Baca juga: Soroti Beda Pendapat, RKUHP Terus Terbengkalai
Eddy mengatakan sejak 1 Januari 1918 aturan pidana Indonesia menganut hukum kolonial. Setelah merdeka, pemerintah tidak pernah menetapkan KUHP.
"Pemerintah tidak pernah menetapkan KUHP yang mau dipakai itu yang mana, apakah terjemahan Mulyatno atau terjemahan Soesilo. Jadi kalau ada lawyer, kalau mau nakal di ruang pengadilan, kalau mau sidang seharusnya dia mengajukan interupsi. Tanyakan kepada hakim dan jaksa KUHP yang dipakai, KUHP yang mana," terangnya.
Ia mengatakan perbedaan tafsir hukum kolonial yang dijadikan KUHP sangat mencolok namun tidak disadari hingga saat ini. Hal itu pun menimbulkan ketidakpastian yang menuntut untuk diakhiri.
Ia pun mencontohkan satu pasal yakni Pasal 110 KUHP. Berdasarkan terjemahan Mulyatno pasal itu berbunyi pemufakatan jahat untuk melakukan makar sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 104 sampai 108 KUHP, dipidana dengan pidana yang sama dengan kejahatan itu dilakukan.
"Dipidana yang sama dengan kejahatan yang dilakukan itu berarti pidana mati," tegasnya.
Baca juga: Mahfud Pastikan RKUHP Akomodir Silang Pendapat
Sementara dalam tafsir Soesilo, pasal itu diartikan kejahatan pemufakatan jahat sebagaimana yang tercantum Pasal 104 sampai Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana maksimum 6 tahun.
"Ini perbedaan sangat signifikan. Satu pidana mati dan satu lagi 6 tahun. Ini serius. Belum lagi berbagai macam unsur, berbagai macam elemen dalam pasal-pasal yang digunakan," terangnya.
Eddy menambahkan memperlambat perubahan KUHP sama dengan membiarkan status quo oleh pihak tertentu. "Jadi hal-hal seperti ini, itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga kalau kita menunda RKUHP untuk disahkan, itu berarti suara-suara yang menginginkan status quo dan ingin kita tetap berada diketidakpastian hukum dan menghukum orang dengan KUHP yang tidak pasti," tuturnya.
Ia menjelaskan masyarakat harus mendukung pemerintah memperbaiki payung besar hukum pidana. Sejauh ini prosesnya sudah sangat transparan, akomodatif dan aspiratif.
"Saat ini yang ditempuh oleh pemerintah dan DPR adalah rekodifikasi KUHP. Jadi yang tadinya pasal-pasal itu ada dalam KUHP, dikeluarkan dari KUHP, lalu kembali dihimpun, dikumpulkan kembali, dimasukkan kembali dalam satu rumah besar yang namanya KUHP," jelasnya.
Eddy pun mengatakan Indonesia akan memiliki kebanggaan baru ketika memiliki payung besar hukum pidana buatan sendiri. "RKUHP merupakan simbol peradaban suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sehingga seyogyanya dibangun dan dibentuk dengan mengedepankan prinsip nasionalisme dan mengapresiasi seluruh partisipasi masyarakat," pungkasnya. (P-5)
Menurutnya, sistem penegakan hukum terpadu seharusnya menjadi kesatuan rangkaian antarpenegak hukum untuk menanggulangi kejahatan.
Hukuman mati tidak lagi menjadi pidana pokok tapi pidana khusus. Ini menjadi politik hukum baru dan menjadi suatu jalan tengah
INDONESIA harus berbangga dengan memiliki produk hukum asli dan menanggalkan produk hukum kolonial.
PASAL perzinaan dalam KUHP yang baru dipastikan tidak akan berdampak negatif terhadap sektor pariwisata dan investasi di Indonesia.
RUU KUHP, merupakan RUU terlama yang dibahas oleh DPR hingga disahkan.
Dia menegaskan yang dilarang itu adalah penghinaan terhadap presiden. Sedangkan kritik terhadap pemerintah maupun kepala negara diperkenankan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved