Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
URGENSI RUU Pemilu tidak hanya mengakomodir isu krusial khususnya evaluasi dari penyelenggaraan pemilu 2019 yang memiliki kisah kelam banyaknya petugas pemilu yang meninggal dunia akibat kelelahan dan polarisasi, tapi juga mengatur agar pemilu efisien dan kecurangan. Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi II Saan Mustofa dalam diskusi daring Perlukah Ubah UU Pemilu Sekarang, Sabtu (30/1).
"Kami berpikirnya rasional untuk kita lakukan evaluasi dan menata sistem kepemiluan kita ke depan. Dan yang jauh lebih penting format demokrasi kita semakin stabil dan bersama ciptakan UU untuk berkali kali pemilu," ujarnya.
Dalam pembahasan RUU Pemilu selalu muncul perdebatan yang sama yang kemudian dapat diselesaikan dengan baik. Usulan RUU Pemilu yang berasal dari inisiatif DPR menurut Saan baru pertama kali terjadi. Proses pembahasan hingga telah dibuat drafnya agar pembahasan perubahan RUU Pemilu tidak mempet dengan jadwal pemilu pada 2024.
"Kalau sekarang kami menyiapkan draft itu sudah penuh perbedaan sikap. Merevisi UU pemilu tidak hanya terkait isu krusial klasik tapi ada hal penting misalnya kami ingin memasukan teknolgi informasi pemilu agar iefisien dan efektif. Kami ingin masukan rekapitulasi eletronik. Kedua kami ingin membuat peradilan khusus pemilu karena sekarang ada tumpang tindih kewenangan," jelasnya.
Politisi Nasdem tersebut menilai UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sudah mengatur secara efisien penyelanggaraan pemilu. Hal ini telah menimbulkan efisiensi namun saat pembahasan UU tersebut beberapa fraksi menginginkan juga pengaturan partai politik di peraturan tersebut.
"Dulu peraturannya sendiri-sendiri, pilkada pileg, pilpres berbeda, MD3 juga berbeda padahal ini saling terkait. Kenapa ini tidak dibuat omnimbus juga. Saya apresiasi UU pemilu di mana uu pilpres, penyelenggra dan pileg disatukan. Ini jadi lebih efisien dan sebelumnya juga kami ingin masukan parpol. Pemilu itu mengatur penyelenggara, pilpres, pileg, parpol dan pilkada dalam satu nafas. Tapi tidak harus sekarang," tegasnya.
Pengalaman dari penyelenggaraan pemilu 2019 harus dijadikan pelajaran dan evaluasi penting untuk penguatan demokrasi dan penerapan UU yang bisa berlaku lama.
"Bahwa dalam revisi ini kita hilangkan kepentingan subjektif apakah dalam kerangka untuk melakukan upaya penjegalan baik terhadap partai maupun kandidat 2024 nanti. Kita hilangkan itu karena pada dasarnya kesepakatan yang kita lakukan berpaya untuk perbaikan kualitas pemilu dan demokrasi kita ke depan. Dibahas sekarang agar nanti tidak tergesa"
Dia juga menekankan penyelenggaraan pilkada serentak 2024 dengan alasan pandemi tidaklah rasional. Pilkada yang sukses digelar Desember 2020 lalu menjadi tolok ukur alasan pandemi tidak dapat diterima begitu saja.
"Nasdem berpandangan bahwa yang paling rasional tetap pilkada pada 2022 dan 2023. Kita kesampingkan asumsi politik bahwa ada orang yang mau 2022 sebagai panggung untuk kandidat capres dan lain-lain," tukasnya. (OL-4)
Komisi II DPR siap membahas RUU Pemilu tersebut jika diberi kepercayaan oleh pimpinan DPR. Ia mengatakan Komisi II DPR yang membidangi kepemiluan tentu berkaitan membahas RUU Pemilu.
MELALUI Putusan No 135/PUU-XXII/2024, MK akhirnya memutuskan desain keserentakan pemilu dengan memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.
WAKIL Ketua Komisi II DPR RIĀ Aria Bima, menilai Aria menilai putusan MK membuka urgensi untuk membahas Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) yang baru secara lebih menyeluruh.
WAKIL Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan pihaknya akan hati-hati dalam membahas revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).
KERANGKA hukum pemilu yang demokratis ialah komponen krusial dalam praktik demokrasi suatu negara.
Ide pemberian jeda waktu antara pelaksanaan pemilu dan pilkada penting untuk dipertimbangkan dalam pembahasan RUU PemiluĀ
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved