Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Revisi UU Pemilu Diharapkan Tidak Tambal Sulam

Indriyani Astuti
25/1/2021 18:06
Revisi UU Pemilu Diharapkan Tidak Tambal Sulam
Kacung Marijan(DOK DITJEN KEBUDAYAAN KEMENDIKBUD)

REVISI Undang-Undang No.10/2016 tentang Pemilihan Umum ( UU Pemilu) yang kini tengah dibahas dalam panitia kerja Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diharapkan menguatkan sistem presidensial dan multipartai yang moderat. Perubahan UU tersebut diharapkan dapat memperbaiki tata kelola kepemiluan dan tidak menjadi agenda lima tahunan.

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Prof. Kacung Marijan mengatakan selama ini, revisi UU Pemilu menjadi agenda lima tahunan. Ketika menjelang pemilu, pembuat UU mengubah aturan yang ada.

Padahal, setiap perubahan desain yang ada dalam UU Pemilu memiliki konsekuensi terhadap para pemangku kepentingan.

Revisi UU Pemilu, ujar Kacung, menjadi godaan bagi partai politik. Partai menjadikannya pintu masuk atau kesempatan dalam menentukan desain pemilu yang membuat partai memperoleh kursi lebih banyak di legislatif.

"Ada keinginan untuk melakukan perubahan desain sistem pemilu dengan perolehan yang didapat, ada kebutuhan pragmatis," ucapnya dalam diskusi mengenai revisi UU Pemilu yang diselenggarakan oleh Fraksi PAN secara daring, Senin (25/1). Sehingga imbuhnya, tidak heran perubahan UU Pemilu yang ada selama ini terkesan tambal sulam.

Baca juga: Politikus Hanura Dilaporkan Terkait Rasisme kepada Natalius Pigai

Adapun sejumlah satu isu yang akan masuk dalam revisi antara lain besaran ambang batas (treshold) parlemen serta desain sistem pemilu. Beberapa partai di DPR mengusulkan agar ambang batas parlemen yang saat ini besarannya 4%, dinaikkan. Tujuannya untuk menyederhanakan jumlah partai di legislatif. Namun, usulan ini kurang disetujui banyak pihak. Kacung menilai ambang batas parlemen, sebuah keniscayaan untuk membangun sistem kepartaian yang sederhana. Tetapi jika terlalu besar menurutnya tidak akan baik.

"Kalau terlalu besar dan menghasilkan dua sampai tiga partai tidak fair, tidak bagus. Sementara tidak ada treshold agak berat menghasilkan sistem multi partai yang bisa saja ekstrem. Ambang batas 5% sudah sangat besar, sehingga 4-5% cukup membangun sistem kepartaian," paparnya.

Senada, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi yang juga menjadi pembicara mengatakan ambang batas parlemen yang tinggi membuat partai politik kesulitan mengusul calon presiden. Selain itu, sedikitnya jumlah calon presiden membuat masyarakat terbelah karena terbatasnya pilihan seperti pada pemilu 2019. Ia juga menilai ketentuan ambang batas dukungan partai politik bagi calon kepala daerah, juga terlalu tinggi. Menurut Pramono, pembuat UU harus membuka ruang yang lebih lebar munculnya calon kepala daerah yang berkualitas.

"Saya tidak setuju ambang batas parlemen semakin tinggi tapi harus sejalan dengan besaran daerah pilihan yang diturunkan. Kalau dinaikkan akan ada suara pemilih yang terbuang," paparnya.

Anggota Dewan Pembina Yayasan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan lebih jauh bahwa

ambang batas parlemen yang terlalu tinggi membuat suara sah pemilih untuk partai politik terbuang. Ia mencontohkan pada pemilu 2019 terdapat 16 partai politik peserta pemilu. Dengan ambang batas parlemen sebesar 4%, ujar Titi, partai politik yang lolos ke parlemen hanya sembilan dan suara sah yang terbuang lebih dari 13, juta. Sedangkan suara yang terkonversi menjadi kursi di DPR sebanyak 126 juta. Ia menilai pembuat UU harus mempunyai landasan atau acuan dalam menentukan besaran ambang batas tersebut.

"Tidak ada argumen yang kuat kenapa angkanya besaran ambang batas parlemen untuk DPR 5%, dan DPRD Provinsi 4%," tutur Titi.

Mengenai pembahasan UU Pemilu, Titi menganggap sangat relevan dan penting untuk dilakukan dalam memperkuat kualitas tata kelola pemilu Indonesia. Di sisi lain, anggota Badan Legislatif dari Fraksi PAN Prof. Zainuddin Maliki mengatakan perubahan UU belum mendesak. Jika ada hal yang perlu diubah atau disempurnakan, menurutnya cukup dengan memperbaiki implementasi tata kelola pemilu. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya