Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Masyarakat Permisif dengan Politik Uang

Emir Chairullah
11/1/2021 01:05
Masyarakat Permisif dengan Politik Uang
Ilustrasi Politik Uang(MI/Seno)

PRAKTIK politik uang masih mewarnai pelaksanaan Pilkada 2020. Akibat praktik politik uang yang masih marak itu, kepala daerah yang terpilih dikhawatirkan sulit menjalankan pemerintahan yang efektif serta tidak berperilaku koruptif. Demikian salah satu kesimpulan dalam Rilis Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia dengan tajuk Pilkada dan Politik Uang di Masa Wabah Covid-19, yang digelar secara daring, kemarin.

Survei dilakukan pada 11-14 Desember 2020 dengan metode simple random sampling dan ukuran sampel 2.000 responden. Survei itu memiliki toleransi kesalahan (margin of error/MoE) sekitar ±2,2% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional.

Djayadi menyebutkan sebanyak 24,6% responden menganggap pemilu sebagai kesempatan untuk mendapat hadiah/uang/bantuan dari calon walaupun secara umum tidak disetujui. Survei tersebut menunjukkan baik di level sikap maupun tingkah laku, warga cukup toleran terhadap politik uang dan pernah mengalaminya pada berbagai tingkatan pemilu. “Angka ini cukup tinggi mengingat alasan politik uang adalah alasan yang negatif,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan.

Djayadi melihat pengalaman politik uang warga secara umum cukup tinggi. Sekitar 30,8% pernah ditawari uang/barang untuk memilih partai atau anggota legislatif, 26,5% pernah ditawari uang/barang agar memilih capres/cawapres tertentu, 25,6% pernah ditawari uang/barang agar memilih calon gubernur tertentu, dan 27,1% pernah ditawari uang/barang agar memilih bupati/wali kota tertentu.


Lebih tinggi

Pakar otonomi daerah Djohermansyah justru berbeda soal ini. Menurutnya, angka pemilih yang setuju dengan praktik politik uang itu jauh lebih tinggi daripada yang dipaparkan LSI. “Mana ada yang mau mengaku kalau dirinya menerima uang?” ujarnya.

Djohermansyah sebenarnya berharap pemerintahan daerah yang terbentuk dari Pilkada 2020 akan efektif dan mengedepankan good local governance. Namun, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan termasuk juga survei yang dilakukan LSI, dirinya agak pesimistis situasi itu bisa terjadi. “Dilihat dari maraknya praktik politik uang dan ongkos politik yang tinggi saat pilkada lalu, saya kira operasi tangkap tangan (OTT) tidak akan berhenti. Ini yang harus kita perbaiki,” ungkapnya.

Pengamat pemilu dari Perludem Titi Anggraeni menyebutkan, saat ini dibutuhkan kesungguhan dari pembuat UU dan parpol untuk mengatasi praktik politik uang. “Di tengah masyarakat Indonesia yang masih berproses, hukum menjadi sesuatu yang dominan. UU harus dibangun untuk mencegah kedaulatan uang,” tegasnya.

Namun, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menyebutkan, secara kuantitas dan administrasi, penyelenggaraan pemilu di Indonesia sudah relatif baik.

Terkait dengan budaya politik uang, Burhanuddin menyarankan agar pemerintah, penyelenggara pemilu, dan DPR mendefi nisikan secara operasional apakah itu politik uang. Kalau tidak sepakat, tambahnya, kita akan kesulitan menegakkan hukum atas praktik politik uang. “Kita harus sepakati istilah vote buying dan gift giving. Banyak politikus menyiasati berbagai cara untuk memberikan sesuatu ke calon pemilih.” (P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik