Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KELUARGA korban kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat meragukan pembentukan Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat Kejaksaan Agung.
Bagi Maria Catarina Sumarsih, pijakan perjuangannya sebagai orang tua korban Tragedi Semanggi I, Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), adalah Pasal 21 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam Pasal 21 Ayat (1) ditegaskan bahwa penyidikan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Sementara pada Ayat (3) menyebutkan dalam pelaksanaan tugasnya, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan atau masyarakat.
"Ketika pijakan saya seperti ini, Pasal 21 Ayat (3), mestinya tidak usah membentuk timsus," ujar Sumarsih kepada Media Indonesia, Minggu (3/1).
Menurutnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin seharusnya mengambil langkah konkret dengan berpatokan pada pasal tersebut, yakni melibatkan Komnas HAM sebagai penyidik ad hoc.
Pada Rabu (30/12), Burhanuddin resmi melantik 18 orang anggota Timsus HAM. Timsus tersebut diketuai oleh Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi. Sedangkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono didapuk menjadi Wakil Ketua Timsus HAM. Tidak ada unsur Komnas HAM di dalamnya.
Pembentukan Timsus HAM Kejagung merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutan pada Rapat Kerja Kejaksaan RI dan peringatan Hari HAM Sedunia Tahun 2020. Sumarsih berpendapat Jokowi telah mengeluarkan pernyataan tegas saat itu dengan menyebut Kejaksaan sebagai aktor kunci di dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Oleh sebab itu, Sumarsih mengatakan seharusnya Jaksa Agung tidak mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menyangkut pernyataannya terkait perstiwa Semanggi I dan II.
"Kalau misalnya memang Jaksa Agung itu dengan tulus akan melaksanakan tugas dari presiden, mestinya langkah pertama itu ya cabut banding yang dilakukan Jaksa Agung terhadap putusan PTUN," tandasnya.
Ia menjelaskan para korban kasus pelanggaran HAM berat hanya menghendaki penyelesaian kasus melalui proses yudisial. Selama ini, Sumarsih menilai pemerintah selalu mengarahkan penyelesaiannya secara nonyudisial. Ia menyebut penyelesaian secara non yudisial merupakan langkah impunitas negara Indonesia yang merupakan langkah hukum.
Sebelumnya, Ali Mukartono menjelaskan Timsus HAM akan menginventarisasi ulang masalah yang ada, sehingga 13 kasus dugaan pelanggaran HAM yang ditangani Kejagung jalan di tempat. Selain itu, pihaknya juga akan melihat probelmatika masing-masing kasus tersebut.
"Karakteristiknya masing-masing seperti apa, nanti kan model banyak yang diusulkan penyelesaiannya seperti apa. Kalau memang nggak bisa (melalui mekanisme pengadilan), ya nggak bisa dipaksakan," pungkas Ali. (OL-8)
PENGAMBILAN sumpah dan pelantikan Hakim Ad Hoc Pengadilan HAM tingkat pertama pada PN Makassar Kelas IA Khusus, dilaksanakan, Jumat (9/9). Mereka diingatkan kasusnya disorot dunia.
Menurut Elpius, kasus Wamena berdarah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang harus diusut tuntas.
Wapres Ma’ruf Amin mengharapkan agar komitmen pemerintah untuk menuntaskan kasus HAM mendapat dukungan.
Lemahnya perencanaan tersebut berdampak pada praktik penegakan HAM yang belum maksimal.
KEJAKSAAN Agung telah mengembalikan berkas penyelidikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Paniai, Papua, ke Komisi Nasional (Komnas)
Bahkan, diduga ada bentuk impunitas yang kental dengan pengabaian penegak hukum untuk mengusut kasus.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved