Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Kontras Desak Pemerintah Revisi UU Pengadilan HAM

Cindy Ang
24/11/2020 05:20
Kontras Desak Pemerintah Revisi UU Pengadilan HAM
Aktivis melakukan aksi Kamisan ke-321 di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat.(ANTARA/Novrian Arbi)

KOMISI untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut ada dua masalah yang membuat pengadilan HAM berat di Indonesia tidak kunjung tuntas. Pertama, minimnya keinginan politik (political will) saat membentuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

Staf Divisi Advokasi Kontras Tioria Pretty menjelaskan UU pengadilan HAM pertama kali dibentuk atas tekanan dan desakan masyarakat internasional terkait pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Untuk mengakali agar kasus tersebut tidak masuk peradilan HAM, Indonesia membentuk UU itu.

"Isinya mayoritas adalah copy paste dari Statuta Roma, tapi ada beberapa hal yang tidak dimasukkan. Dan juga ada beberapa hal yang disesuaikan sehingga jadilah UU Nomor 26 Tahun 2000 itu," kata Tioria dalam diskusi secara daring, Senin (23/11).

Baca juga: Kejagung Diminta Turut Usut Korupsi di Kepulauan Bintan

Kedua, celah normatif yang memungkinkan penundaan proses yang tidak perlu secara terus menerus. Ini, kata dia, terkait dengan proses penyelidikan, penyidikan, dan peradilan soal pelanggaran HAM berat di Indonesia.

"Ada celah normatif yang membuat UU ini tidak maksimal," kata dia.

Tioria menjelaskan pelanggaran HAM berat berdasarkan UU Pengadilan HAM meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedangkan, berdasarkan Statuta Roma ada empat jenis kejahatan yang masuk kategori pelanggaran HAM berat.

"Untuk Statuta Roma itu ada kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Sementara di UU pengadilan HAM itu hanya dua yang dimasukkan," ucap Tioria.

Dia mengatakan Indonesia menganggap kejahatan perang dan kejahatan agresi sebagai kejahatan biasa dan tidak masuk dalam yurisdiksi pengadilan HAM.

Menurutnya, kejahatan perang perlu masuk UU pengadilan HAM. Sebab, kejahatan perang bukan sekadar perang antara dua negara atau lebih, namun juga konflik bersenjata di dalam negeri. Salah satunya, konflik yang pernah terjadi di Timor Timur dan Aceh.

Kemudian, yang kini terjadi di Papua. Meski, kata dia, pemerintah tidak mau menyebut Papua sebagai daerah operasi militer.

"Tapi dengan situasi-situasi yang terlihat di sana, itu sebenarnya masuk dalam konsep konflik bersenjata yang diatur dalam konvensi Jenewa," kata Tioria.

Kontras mendorong pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU pengadilan HAM. Revisi guna memperbaiki kelemahan pengaturan dan mengakhiri impunitas kasus pelanggaran HAM berat. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik