Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Pemerintah Diingatkan Risiko Bergantung Pada Tiongkok

Tri Subarkah
01/11/2020 18:30
Pemerintah Diingatkan Risiko Bergantung Pada Tiongkok
Peneliti Associate Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Zulfikar Rahmat saat memberi pemaparan, Minggu (1/11).(MI/TRI SUBARKAH)

HUBUNGAN bilateral antara Indonesia dengan Tiongkok mendapat tantangan tersendiri di saat pandemi covid-19. Kendati demikian, hal tersebut justru membuat hubungan kedua negara menguat.

Menurut peneliti Associate Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Zulfikar Rahmat, proyek investasi Tiongkok banyak mangkrak di Indonesia selama pandemi.

"Sehingga ke depannya, pascacovid-19 ada kemungkinan hubungan Indonesia dan China ini semakin menguat, karena proyek-proyek yang mangkrak tersebut perlu dilanjutkan," kata Rahmat dalam sebuah webinar yang dihelat LP3ES, Minggu (1/11).

Rahmat juga menjelaskan masih banyak proyek Tiongkok yang belum terealisasi meskipun sudah ditandatangani. Penguatan kedua negara, lanjutnya, didukung oleh janji politik Presiden Joko Widodo berkaitan dengan pembangunan infrastruktur yang perlu dikebut. "China sebagai salah satu mitra akan diminta untuk membantu," jelasnya.

Rahmat mencatat bahwa Tiongkok adalah sumber investasi langsung luar negeri terbesar kedua setelah Singapura bagi Indonesia. Pada 2019, Tiongkok menjadi negara tujuan ekspor terbesar Indonesia dengan nilai US$25,8 juta. Adapun impor Indonesia dari Tiongkok senilai US$44,5 juta.

Sebelum pandemi menghantam, hubungan keduanya menurut Rahmat juga diperkuat setelah Indonesia dipilih menjadi salah satu titik strategi pembangunan Tiongkok melalui Satu Sabuk, Satu Jalan (Belt and Road Initiative).

Proyek tersebut bertujuan untuk membangun infrastruktur, khususnya transportasi di negara-negara yang dilalui. Di Indonesia salah satu proyek yang dibangun adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Kendati demikian, Rahmat menyebut ada risiko yang dapat dialami Indonesia jika terlalu bergantung pada Tiongkok. Misalnya saat ekonomi Tiongkok goyah sedikit saja, Indonesia pun akan terdampak. Apalagi kedua negara telah menandatangani penggunaan mata uang Yuan dalam proses perdagangan.

"Yang kedua, ini bisa merusak hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat. Belakangan sudah terlihat bagaimana sikap pemerintah Indonesia agak mulai condong dengan Tiongkok," jelas Rahmat.

Namun, kedatangan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ke Indonesia baru-baru ini dinilai Rahmat cukup signifikan. Salah satu alasannya terkait peningkatan aktivitas Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. "Amerika butuh dukungan untuk keberadaan di sana," tandasnya.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Dwi Ardhanariswari menyebut bahwa Indonesia pada masa kepemimpinan Jokowi periode pertama lebih condong melakukan hubungan bilateral ketimbang multilateral.

"Dengan siapa Indonesia akan berelasi, bagaimana pola berelasi benar-benar hanya pertimbangan material, untung rugi jangka pendek. Pada masa Jokowi pertama, kepentingan nasional sangat difokuskan hanya pada kepentingan ekonomi," katanya.

Ardhanariswari melihat ada perubahan pendekatan hubungan luar negeri Indonesia semenjak periode Jokowi kedua, yakni dengan mengutamakan diplomasi ekonomi, diplomasi kedaulatan dan kebangsaan, peningkatan kontribusi, serta kepemimpinan Indonesia di kawasan maupun dunia.

"Ada keinginan untuk membuat ASEAN menjadi subjek dalam politik global. Jadi sudah ada <i>sense<p> untuk kembali bermain di <i>ASEAN<p> dalam rangka mendukung keinginan Indonesia untuk memulai kembali periode kepemimpinananya di kawasan maupun di dunia," tandas Ardhanariswari. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik