Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Pragmatisme Parpol Suburkan Calon Tunggal dan Dinasti Politik

Dhika kusuma winata
27/10/2020 17:15
Pragmatisme Parpol Suburkan Calon Tunggal dan Dinasti Politik
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini(Dok.MI)

PARTAI politik saat ini dinilai masih pragmatis dalam mencalonkan kepala daerah yang maju pada Pilkada. Kecenderungan parpol dinilai hanya sebatas mengamankan kemenangan dan mengabaikan representasi politik sehingga menyuburkan fenomena calon tunggal dan politik dinasti.

"Pencalonan jalur parpol menjadi saluran utama untuk aktor politik yang ingin maju pilkada. Melihat 15 tahun adanya pilkada ternyata pilihan warga makin menyempit akibat pragmatisme parpol untuk mengamankan kemenangan. Itu terlihat dari makin kuatnya fenomena politik dinasti dan calon tunggal," ungkap anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini dalam webinar Membangun Integritas Partai Politik Menuju Pilkada yang Aspiratif dan Demokratis, Selasa (27/10).

Sejak Pilkada langsung digelar, Titi menyebut tren calon tunggal terus meningkat. Pada Pilkada 2015, ada tiga calon tunggal dan pada Pilkada 2016 meningkat menjadi sembilan calon. Tren itu semakin meningkat pada 2018 ada 16 calon tunggal. Pada Pilkada Serentak 2020 ini, tercatat ada 25 daerah dengan calon tunggal.

Titi menyatakan fenomena calon tunggal disebabkan lemahnya kaderisasi parpol. Parpol juga kerap pragmatis untuk mendukung calon tunggal maupun dinasti politik untuk ikut koalisi besar yang diperkirakan bakal menang.

"Lemahnya kaderisasi parpol ini menyuburkan politik dinasti dan calon tunggal. Kalau kaderisasi tidak berjalan, rekrutmen yang demokratis pun sulit diharapkan terjadi. Akhirnya pragmatisme dominan karena partai tidak punya kader hanya ikut gerbong saja mengusung calon tunggal," ucapnya.

Munculnya dinasti politik juga ditengarai lantaran rekrutmen di internal parpol yang tidak demokratis. Titi menyebut rekrutmen untuk calon kepala daerah kerap tertutup dan elitis. Rekomendasi untuk calon kepala daerah, imbuh Titi, kerap bergantung kepada sekelompok elit sehingga terjadi sentralisasi pencalonan.

"Yang terjadi ada dominasi ketua umum dan sekretaris jenderal partai di pusat yang mendegradasi otonomi politik di daerah. Ada hegemoni kekuasaaan DPP untuk rekrutmen sehingga menombulkan disparitas konstelasi pencalonan di daerah dengan apa yang dikehendaki di tingkat elit di pusat," ujarnya.(OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik