Pengujian UU Cipta Kerja di MK Butuh Argumentasi Kuat

Indriyani Astuti
13/10/2020 22:42
Pengujian UU Cipta Kerja di MK Butuh Argumentasi Kuat
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) di Gedung MK, Jakarta, Selasa (13/10/2020).(MI/ADAM DWI P )

GURU Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menuturkan apabila ada pihak yang ingin mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, harus dipastikan argumentasi yang dibangun kuat terutama dalam menguraikan kerugian konstitusional atas berlakunya UU tersebut.

Ia menyampaikan bahwa gugatan ke MK merupakan jalur resmi yang sesuai dengan konstitusi dalam menguji sebuah UU yang dianggap dapat merugikan hak-hak warga negara. Adapun pengujian UU, imbuhnya, dapat melalui uji formil ataupun materiil.

Baca juga:Setelah Demo Terbitlah Bencana

"Substansinya tergantung pada pemohon. Apakah sebatas pasal-pasal yang merugikan atau keseluruhan sebagai UU. Kalau keseluruhan UU, biasanya paling mudah membuktikannya melalui pengujian formil dengan melihat format UU tersebut sudah sesuai atau belum terhadap aturan perundang-undangan yang ada," terang Asep ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (13/10).

Melalui uji formil, terang Asep, keseluruhan UU dapat dibatalkan apabila dibuat tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan.

Sedangkan, pengujian materiil yakni dengan melihat pasal-pasal mana yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Untuk pembuktiannya, menurut Asep memang tidak mudah sebab dibutuhkan argumentasi mendalam. Termasuk sejauh mana pemohon bisa menjabarkan pada Mahkamah mengenai potensi dari kerugian dari diterapkannya UU tersebut.

"Misalnya hak-hak buruh atau dari segi lingkungan bahwa UU tersebut berpotensi terjadi pencemaran dan kerusakan. Hemat saya akan berat pembuktian argumentasi bertentangan dengan konstitusi," tutur Asep.

Ia lebih lanjut menyampaikan bahwa pemerintah berkeyakinan UU Omnibus Law Cipta Kerja mempunyai kelebihan antara lain memberikan kepastian berusaha, kemudahan investasi dan perizinan. Tetapi, argumentasi yang dibangun tersebut harus dibuktikan di depan majelis Hakim Konstitusi.

"Sejauh mana pemerintah dan DPR bisa menyakinkan pemohon bahwa UU tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip keadilan dan lain-lain. Para ahli yang nantinya menguatkan argumentasi antara pemohon, pemerintah dan DPR sebagai pembuat UU," imbuhnya.

Selain judicial review atau pengujian UU, Asep menyampaikan ada pandangan dari banyak pihak mengenai executive review yaitu UU yang sudah ada dijalankan terlebih dahulu, kemudian dibentuk tim oleh pemerintah untuk mengevaluasi penerapan UU tersebut.

Pada dari laman resmi MK, sudah ada dua gugatan UU Cipta Kerja yang diajukan terhadap UUD 1945. Kedua gugatan tersebut didaftarkan ke MK pada Senin (12/10). Asep menuturkan berdasarkan hukum acara di MK, lembaga tersebut hanya  menerima pengujian UU bukan rancangan UU. Sehingga gugatan yang diajukan berpotensi ditolak oleh hakim MK sebab RUU Cipta Kerja  belum diberikan nomor dan disahkan dalam lembaran negara

"Tidak bisa menjadi objek pengujian. Karena sudah pernah ada gugatan ke MK, Undang-Undangnya belum diberi nomor oleh pemerintah dan ditolak mahkamah," terang Asep.

Ia mengimbau para pihak yang ingin mengajukan gugatan ke MK untuk tidak terburu-buru, tetapi menunggu hingga UU Cipta Kerja disahkan dan diundangkan sehingga dapat menjadi objek gugatan. "Kalau ditolak akan berdampak pada reputasi pemohon. Sejauh mana mereka serius mengajukan gugatan," tukasnya.

Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun menyampaikan judicial review bukan opsi terbaik sebab untuk menguji materiil UU Cipta Kerja substansinya terlalu banyak.

"Tidak setiap UU yang jelek bertentangan dengan konstitusi. Menurut hukum acara MK, sebelum dinyatakan tidak mengikat oleh MK, UU tersebut sudah berlaku," tuturnya.

Mengenai indepensi Hakim Konstitusi dalam menyidangkan perkara pengujian UU Cipta Kerja, Refly mengatakan memang banyak pihak meragukan hal tersebut. Ada dugaan bahwa Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi  yang disahkan oleh ketika Dewan Pewakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah pada awal September 2020 dapat menganggu independensi hakim MK.

Baca juga:Prabowo: Saya Bersaksi Presiden Jokowi Selalu Memikirkan Rakyat

Pada UU itu diatur pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi dan perubahan masa jabatan Ketua dan Wakil ketua MK, perubahan usia minimal dan tata cara seleksi hakim konstitusi, penambahan ketentuan baru mengenai unsur majelis kehormatan MK.

"Hakim Konstitusi harus membuktikan mereka independen. Jangan marah," tukas Refly. (Ind/A-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irvan Sihombing
Berita Lainnya