PRAKTIK korupsi pada ranah birokrasi bergerak lurus dengan komitmen pucuk pimpinan organisasi pemerintahan. Sistem sebaik apa pun terbukti tidak mampu untuk membentengi kepala pemerintahan untuk merampok uang rakyat.
“Korupsi itu dilakukan oleh pemilik kekuasaan. Kondisi ini terjadi tanpa mengenal sistem negara, baik itu di negara yang menganut politik monarki hingga demokrasi,” ujar Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara periode 1983-1988 Sarwono Kusumaatmaja pada diskusi virtual yang digelar Parasyndicate bertajuk Membangun ASN Berintegritas: Menakar Pemberantasan Korupsi dalam Reformasi Birokrasi, kemarin.
Menurutnya, korupsi juga tidak mengenal negara dengan stabilitas politik baik atau sedang goyah. Kelompok kerah putih yang berniat korup akan selalu mencari celah untuk merampok uang rakyat.
Ketika dibawa masuk ke ruang lebih sempit, yakni Indonesia, tindak pidana luar biasa itu terus terjadi sejak era Orde Baru hingga kini. Meskipun situasi politik dan sistem birokrasi berubah-ubah, praktik kotor itu masih terjadi.
“Sejak dulu hingga sekarang semuanya sepakat dan mendukung pemberantasan, tetapi di tingkat praktik berbeda. Kebijakan pun tidak konsisten, pilih kasih dan the same old game, korupsi masih terus terjadi,” ujar Sarwono.
Ia meyakini sistem pemerintahan atau birokrasi bukan faktor penyebab terjadinya korupsi, melainkan murni kehendak aktornya, dalam hal ini pemilik kewenangan. Dalam konteks daerah, posisi itu dimiliki kepala daerah.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM Oce Madril menambahkan, potret birokrat yang terungkap melakukan korupsi tidak pernah punah. Padahal, sistem birokrasi dengan segala bentuk aturan perundang-undangan sudah dibentuk.
Belum lagi, kata dia, pakta integritas dan perjanjian mengikat lain menjadi bagian dari sumpah para pelayan publik. Namun, semua itu tidak menyurutkan praktik rasuah pada semua jenjang jabatan.
Alhasil, pemberantasan korupsi Indonesia sejak 2003 atau setelah berdirinya KPK seolah jalan di tempat. Indeks antikorupsi Indonesia pada 2003 dari nilai terbaik 10 hanya 1,9 dan pada 2018 tercatat 3,9.
Oce mengambil contoh kepala daerah dan pemimpin dalam program reformasi birokrasi. Sayangnya pucuk pimpinan seperti itu masih bisa dihitung dengan jari. Buktinya KPK paling banyak menangkap kepala daerah ketimbang posisi atau jabatan lain. (Cah/P-1)