Headline

Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.

Fokus

Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.

Calon Tunggal Cerminkan Demokrasi tak Sehat

Emir Chairullah
09/9/2020 14:23
Calon Tunggal Cerminkan Demokrasi tak Sehat
Pilkada(Ilustrasi )

KETUA PP Muhammadiyah Busro Muqoddas menilai maraknya fenomena calon tunggal dalam Pemilu Kada Serentak 2020 sebagai bukti tersumbatnya hak asasi politik di Indonesia. Para elite dan partai politik dianggap menghambat munculnya kader unggulan bangsa berbasis kecerdasan, rekam jejak, dan kematangan berdemokrasi. 

“Munculnya calon kepala daerah tunggal 28 (daerah) atau 10,37% yang itu merupakan anomali overkrisis demokrasi kita. Demokrasi kita sedang sakit, sedang terpental, sedang krisis jiwa,” kata Busyro dalam diskusi virtual 'oligarki parpol dan fenomena calon tunggal, Rabu (9/9).

Baca juga: 50 Personel TNI Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Polsek Ciracas

Yang semakin memprihatinkan, tambah Busro, fenomena ini didukung akibatnya menguatnya calon kepada daerah berbasis politik dinasti keluarga pejabat dan parpol. Dinasti politik ini pun justru dipelopori oleh pejabat elite di istana yang sedang menjabat. 

"Dinasti politik ini bertentangan kepada esensi moralitas. Akibatnya praktik ini melanggar prinsip the right man on the right place,” jelasnya.

Hal senada diungkapkan Anggota Bawaslu RI Dewi Pettalolo yang menyebutkan munculnya pasangan calon tunggal saat pemilu kada. Munculnya ketokohan seseorang mengesampingkan gagasan-gagasan yang diusung oleh calon atau partai politik pengusung.

“Orientasi ketokohan ini juga mengesampingkan rekrutmen terbuka berdasarkan kualitas seseoran. Ini juga berkaitan dengan mendegnya pengkaderan di internal partai politik,” ujarnya.

Selain itu, tambah Dewi, parpol di Indonesia cenderung dibangun dari elit (kalangan atas) dan bukan atas dasar kebutuhan dan kesadaran dari akar rumput (kalangan bawah). Implikasi dari parpol yang bersifat elit, pendanaan parpol bergantung dari kalangan elit yang mendanai dan bantuan dana parpol dari Negara. 

“Dalam konteks ini, ada hubungan mutualisme antara Parpol yang membutuhkan dari calon dan calon yang membutuhkan parpol sebagai kendaraan politik,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengusulkan agar syarat minimal dukungan jumlah kursi atau jumlah suara untuk pencalonan dari jalur partai politik. Selain itu adanya regulasi untuk mengurangi syarat dukungan untuk calon dari jalur perseorangan. 

“Sehingga potensi calon tunggal dalam pilkada bisa dikurangi,” ungkapnya.

Selain itu, tambahnya, negara harus menaikkan alokasi dana untuk partai politik. 

“Dan yang tidak kalah penting, harus ada demokratisasi di internal partai politik dan partai politik harus memiliki Sistem Integritas Partai Politik (SIPP); standar etika, kaderisasi berintegritas, rekrutmen berintegritas, tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel,” pungkasnya.

UU tidak kondusif

Sayangnya, ungkap Busro, praktik-praktik yang merusak demokrasi ini didukung oleh UU Nomor 10/2016 tentang Pemilu Kada. Menurutnya, aturan itu mengidap cacat moral filosofis, cacat moral yuridis dan cacat moral demokrasi. 

“UU itu berdampak buruk kepada menguatnya pragmatisme politik, mahar politik dan bentuk transaksi demokrasi lainnya. Lalu, munculnya calon karbitan karena politik dinasti keluarga tersebut dan politik dalam kendali rentenir politik,” ujarnya.

Baca juga: Pinangki Kembali Diperiksa oleh Kejagung

Selain itu, tambah Busro, UU tersebut menyebabkan macetnya kaderisasi secara sehat dan profesional dalam tubuh parpol dan melumpuhkan peran partai politik.

"Kemudian juga undang-undang tersebut menutup rapat tampilnya calon perorangan atau independen sebagai bentuk korupsi demokrasi. Ada kecenderungan elite parpol melakukan deparpolisasi,” ujar Busro. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya