Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

UU Korona Dinilai Cacat Formil

Indriyani Astuti
18/8/2020 18:35
UU Korona Dinilai Cacat Formil
Gedung Mahkamah Konstitusi(MI/ADAM DWI)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian formil dan materiil Undang-Undang No 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang. 

Sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Selasa (18/8) mengagendakan perbaikan permohonan. Dalam persidangan yang diketuai Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan anggota Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat tersebut, pemohon yang diwakilkan oleh Zainal Arifin Hoesein dan kuasa hukum Achmad Yani menyampaikan UU No 2/2020 atau UU Korona itu cacat formil sehingga mereka meminta Majelis Hakim Konstitusi membatalkan seluruhnya.

Kuasa hukum pemohon, Achmad Yani, menjabarkan UU No 2/2020 disahkan DPR pada masa sidang ketiga, yang dimulai sejak 20 Maret 2020 sampai 12 Mei 2020, oleh karena itu. Sementara itu, pemerintah mengirimkan draf Perppu No1/2020 pada masa sidang yang sama. Perppu tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020 dan disahkan pada 12 Mei 2020.

"Dalam Pasal 22 ayat 2 UUD 1945  peraturan pemerintah harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya," papar Achmad.

Achmad menjelaskan lebih lanjut bahwa pengajuan dan persetujuan DPR terhadap Perppu No 1/2020 menjadi UU Korona dilakukan dengan masa sidang DPR yang sama atau masa sidang ketiga, sehingga bertentangan dengan Pasal 22 ayat 2 UUD 1945.

"Seharusnya apabila DPR menerima Perppu 1/2020 pada masa sidang ketiga, seharusnya penerimaan atau penolakan terhadap Perppu ini dilakukan pada masa sidang keempat," ucapnya.

Oleh karena prosedur persetujuan Perppu tidak memenuhi ketentuan dalam UUD, tuturnya, pemohon beranggapan UU Korona untuk dibatalkan secara keseluruhan dan cacat formil.

Selain itu, pemohon mendalilkan bahwa persetujuan DPR atas Perppu No 1/2020 tanpa melibatkan DPD sehingga dianggap bertentangan dengan Pasal 22 d ayat 2 UUD 1945. Dalam Perppu No 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU No 2/2020, diatur mengenai pengenyampingan UU No 3/2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut pemohon, ketentuan pengenyampingan itu diatur Pasal 8 angka 6 UU No 2/2020 dan seharusnya DPD ikut membahas Perppu tersebut.

"DPD membahas undang-undnag salah satunya mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah bersama DPR. Seharusnya DPD ikut terlibat dalam Pengesahan UU No 2/2020," paparnya.

Pemohon menguji  Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 UU Korona yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batas defisit dengan dua ketentuan.  Pertama, membuka batasan defisit di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tanpa batas maksimal.

Kedua, pemerintah berwenang memberlakukan batas defisit di atas 3% dari Pendapatan Domestik  Bruto (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022. Pasal lain yang diuji ialah 28 UU 2/2020 yang memuat ketentuan  menyatakan tidak  berlakunya 12 UU yaitu terkait penangguhan untuk APBN. 

Hakim Konstitusi Suhartoyo menyampaikan majelis mengapresiasi kesungguhan permohonan tersebut. Namun, hakim panel menemukan tidak semua pemohon membubuhkan tanda tangan pada berkas perbaikan permohonan.

Suhartoyo juga menekankan hakim panel dalam sidang tersebut sangat memilki kewenangan terbatas untuk memutuskan melanjutkan permohonan itu atau tidak.  "Nanti secara substansi akan dinilai oleh sembilan hakim pada rapat permusyawaratan hakim," ucapnya. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya