Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Anggota KPUD Banyak Melanggar Kode Etik

Putra Ananda
10/8/2020 04:29
Anggota KPUD Banyak Melanggar Kode Etik
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyampaikan paparan data pengaduan dalam diskusi virtual di Jakarta, kemarin.(MI/SUSANTO)

BERDASARKAN catatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), anggota KPUD menjadi penyelenggara pemilu yang paling banyak dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik. Dari 2.947 total aduan pelanggaran etik yang dilaporkan ke DKPP sepanjang 2019, ada 1.250 aduan merupakan aduan yang berkaitan dengan anggota KPU kabupaten/kota.

“Paling banyak itu anggota KPU kabupaten/kota, diikuti anggota Bawaslu kabupaten/kota. Selanjutnya KPU provinsi lalu KPU RI,” ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dalam acara diskusi virtual bertajuk Quo Vadis Lembaga Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu yang berlangsung di Jakarta, kemarin.

Dari 2.947 total aduan tersebut, jenis pengaduan pelanggaran etik terbanyak terkait dengan rekrutmen jajaran petugas KPU. Lalu setelahnya berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan wewenang dari para penyelenggara pemilu.

“Pengaduan berdasar prinsip yang dilanggar paling mendominasi ialah terkait profesionalitas penyelenggara pemilu,” ujar Titi lebih lanjut.

Mantan Ketua KPU periode 2004-2007 Ramlan Subakti menuturkan bahwa pelanggaran kode etik berbeda dengan pelanggaran administrasi pemilu yang telah diatur sebelumnya melalui hukum positif. Namun, saat ini, penyelesaian pelanggar an kode etik masih bercampur aduk dilakukan berdasarkan hukum positif.

“Yang diatur dalam kode etik itu tidak bisa digunakan dengan hukum positif yang mengatur dalam pelanggaran administrasi umum penyelesaian pemilu,” tegasnya.

Menurut Ramlan, selama ini persidangan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan DKPP tidak jauh berbeda dengan persidangan dalam pengadilan yang bersifat umum. Ketua dan anggota DKPP menempatkan diri sebagai hakim.

“Tanpa bermaksud mendiskreditkan DKPP, saya melihat DKPP menyidangkan dugaan etik seperti di pengadilan yang menggunakan hukum positif. Mestinya jika ada penyelenggara yang melanggar kode etik, tidak bisa serta-merta bersidang secara hitam dan putih. Harus mempertimbangkan konteksnya juga,” tuturnya.

Waktu singkat

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso menambahkan, selama ini DKPP selalu bersidang dengan batas waktu yang singkat. Menurutnya, putusan yang diambil DKPP sebaiknya tidak terkait atau bersinggungan dengan tahapan pemilu.

“Putusan dalam pelanggaran kode etik itu baiknya tidak diambil dengan terburu-buru. Dilakukan dengan tenang karena pelanggaran etik merupakan pelanggaran yang tidak terkait secara langsung dengan pelanggaran tahapan pemilu seperti pelanggaran administra si ataupun pidana pemilu,” ungkapnya.

Salah satu putusan DKPP yang menjadi perhatian publik ialah putusan nomor 317/2020 yang memberhentikan Evi Novida Ginting dari keanggotaan KPU RI secara tidak hormat. Namun, putusan tersebut dibatalkan PTUN Jakarta.

“Putusan PTUN sangat tepat. Di dalam menyatakan bahwa keputusan Presiden untuk memberhentikan Evi dibatalkan. Berarti Evi balik lagi ke KPU. Putusan ini (PTUN Jakarta) sekaligus mengonfirmasikan bahwa putusan DKPP yang telah memberhentikan Evi itu keliru,” ujar Topo.

Topo mengatakan, meskipun putusan DKPP tidak ada forum untuk melakukan mekanisme banding atau tidak ada proses di atasnya lagi, setelah keputusan Presiden yang memberhentikan Evi Novida dari keanggotaan KPU RI dinyatakan batal oleh PTUN, kedudukan Evi Novida harus segera dipulihkan. (P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya