Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dianggap sudah sangat mendesak. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki aturan perundang-undangan yang berorientasi pada perllindungan dan pemulihan korban.
Begitu juga untuk mencegah kekerasan seksual terhadap semua unsur masyarakat tanpa terkecuali. “Subtansi UU yang mengatur terkait pemulihan untuk korban itu belum ada. Belum ada mandat pencegahan hingga pemulihan secara komprehensif,” ujar aktivis Swara Parangpuan, Nur Hassanah, dalam webinar berjudul Jalan Buntu RUU PKS, kemarin.
Nur mengatakan selama ini penyelesaian kasus kekerasan seksual umumnya dilakukan dengan berlandaskan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, KUHP saja tidak cukup. Terdapat hal-hal terkait kekerasan seksual, khususnya dari perspektif kebutuhan korban yang tidak tencantum dalam KUHP.
“KUHP hanya mengenal perkosaan, pencabulan, dan perzinaan. KUHP tidak melindungi hak korban, hanya mengenal pidana penjara, selain itu proses peradilan juga berlangsung lama,” ujar Nur.
Dengan adanya UU PKS, lanjut Nur, diharapkan beberapa hal penting dapat disertakan dan memiliki payung hukum yang komprehensif. Mulai mekanisme pencegahan yang terintegrasi, adanya delik pidana yang komprehensif, hingga agar aparat penegak hukum yang lebih mampu dan terlatih untuk mengidentifi kasi kebutuhan korban.
“Juga aturan agar ada rehabilitasi bagi pelaku. Rehabilitasi itu untuk pelaku yang berada di bawah 14 tahun misalnya, dia juga harus dapat rehabilitasi,” ujar Nur.Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, sependapat RUU PKS sangat dibutuhkan untuk melindungi dan memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Ia mengatakan selama ini aturan dan lembaga yang bertugas mengurus korban kekerasan seksual belum terintegrasi dengan baik. Selain itu, perumusan hak-hak korban hanya diatur dengan UU tertentu, seperti UU TPPO, UU PKdRt, UU Perlindungan Anak, serta UU Perlindungan Saksi dan Korban. Seluruhnya hanya spesifi k untuk korban dalam tindak pidana yang dimaksud dalam undang-undang tersebut.
“Tidak ada ketentuan dasar yang khusus menjamin bahwa pemenuhan hak korban dapat diwujudkan untuk semua korban kekerasan seksual termasuk yang diatur dalam KUHP,” ujar Erasmus.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah memutuskan untuk menarik 16 RUU dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. RUU PKS termasuk salah satu di antaranya. DPR beralasan perlu merampungkan Rancangan KUHP terlebih dahulu. (Pro/P-2)
Aturan teknis sangat dibutuhkan agar menjadi landasan pembentukan unit pelaksana teknis daerah (UPDT).
Agar kehadiran beleid itu efektif mencegah dan menuntaskan kasus kekerasan seksual di Tanah Air
Sepanjang 2021 terdapat 3.838 kasus kekerasan berbasis gender dilaporkan langsung kepada Komnas Perempuan. Angka itu naik 80% dibandingkan tahun sebelumnya.
PKS merupakan satu-satunya pihak di DPR yang menolak pembahasan RUU PKS
RUU TPKS akan memuat aturan secara terperinci hingga ke aturan hukum beracara untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Kemenag sedang menyusun regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri Agama dengan mengikuti dinamika dalam penyusunan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved