Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Polemik di Masyarakat jadi Alasan Sejumlah Fraksi Tolak RUU HIP

Putri Rosmalia Octaviyani
16/6/2020 20:37
Polemik di Masyarakat jadi Alasan Sejumlah Fraksi Tolak RUU HIP
Seorang pengunjung museum nasional tengah memotret lambang negara Garuda Pancasila(Antara)

POLEMIK RUU Himpunan Ideologi Pancasila (HIP) terus berkembang di masyarakat. Fraksi-fraksi di DPR juga satu persatu menarik persetujuannya akan RUU tersebut.

Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, fraksi dengan tegas menolak RUU HIP salah satunya karena ingin memperjuangkan aspirasi ormas dan masyarakat luas yang keberatan RUU HIP tetap dilanjutkan. Sejumlah ormas besar seperti Muhammadiyah, MUI, organisasi otonom NU serta berbagai kalangan meminta pembahasan RUU HIP dihentikan karena berbagai catatan subtantif dan rawan membuka polemik ideologis yang kontraproduktif.

"Fraksi PKS satu-satunya Fraksi yang sejak awal tegas bersikap soal RUU ini. Kami mempelajari dengan cermat Naskah Akademik maupun pasal-pasal RUU dan menyimpulkan bahwa RUU bermasalah secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Konstruksinya mengarah pada reduksi makna sila-sila Pancasila yang utuh yang disepakati dan termaktub dalam Pembukaan UUD 1945," ungkap Jazuli, ketika dihubungi, Selasa, (16/6).

Jazuli mengatakan PKS menolak menyetujui pembahasan bila tak ada perbaikan isi RUU. Pertama dengan memasukkan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 sebagai konsideran yang menjiwai RUU untuk menegaskan bahwa Pancasila tegas menolak seluruh ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme yang ajarannya bertentangan dengan Pancasila.

"PKS juga menolak Pancasila diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Ketentuan tersebut dalam draf RUU HIP harus dihapus karena mereduksi makna Pancasila yang utuh dengan lima silanya," ujar Jazuli.

Anggota DPR Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan, mengatakan bahwa Demokrat sejak awal memang telah menolak menyetujui pembahasan RUU HIP. Ia menyatakan Demokrat tak melihat adanya urgensi dari pembahasan RUU tersebut.

"Selain tidak ada urgensinya dan tidak tepat waktunya saat kita fokus menangani pandemi virus korona, substansinya tidak sejalan dengan jalan pikiran politik partai Demokrat. TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966 sama sekali tidak menjadi acuan. Substansinya mendegradasi makna Pancasila itu sendiri," tutur Hinca.

Sementara itu, Ketua Fraksi NasDem, Ahmad Ali, mengatakan NasDem tak ingin ada polemik dan kegaduhan di masyarakat akibat RUU HIP. NasDem juga tak ingin dikotomi soal orde lama dan orde baru kembalu muncul.

"Kita tidak mau kemudian pembahasan ini menimbulkan kegaduhan, menimbulkan polemik. Kalau kemudian ini menimbulkan kegaduhan, sebaiknya tidak usah dilanjutkan," tutur Ali. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya