Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Dalam Keadaan Krisis, Presiden Bisa Tabrak Konstitusi

Che/X-8
31/3/2020 05:40
Dalam Keadaan Krisis, Presiden Bisa Tabrak Konstitusi
Jimly Asshiddiqie(MI/RAMDANI)

PENYEBARAN wabah covid-19 di Tanah Air kian mencemaskan. Jumlah penderita terus bertambah dan dikhawatirkan akan semakin meluas.

Dalam situasi seperti ini, keberanian Presiden Joko Widodo untuk bertindak diuji. Apa yang semestinya dilakukan? Berikut penuturan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie kepada Media Indonesia, kemarin.

Menurut Anda apakah Presiden sudah harus menyatakan kondisi saat ini darurat sipil?

Ini kan kondisi krisis. Jadi, sebenarnya pemerintah sudah terlambat mengumumkannya. Pemimpin harus bisa bekerja di saat normal maupun krisis. Cara bekerja dan berpikir dalam keadaan normal dan krisis itu berbeda. Kalau dalam keadaan krisis, presiden sebagai kepala negara bisa menabrak konstitusi. Jadi, bukan hanya UU.

Sebagai contoh orang beribadah di rumah ibadah itu kewajib­an orang beragama. Tidak boleh negara melarang karena ini menyangkut kebebasan beragama. Tapi, karena keadaan krisis, negara boleh melarang. Begitu juga dengan pulang kampung. Siapa yang boleh melarang jika keadaan normal? Tapi dalam keadaan darurat seperti ini boleh.

Apa yang menjadi syarat penentuan kondisi darurat sipil?

Pertama keadaan darurat itu harus dideklarasikan atau diproklamasikan. Itu persyarat­an konstitusionalnya. Di PBB itu ada special rapporteur mengenai state emergency. Ini penting karena state emergency sering disalahgunakan di banyak negara. Special rapporteur bisa memeriksa secara hukum apakah negara tersebut dalam keadaan darurat atau tidak.

Ada dua pengertian keadaan darurat, yaitu de jure dan de facto. Yang de facto tidak sah secara konstitusional karena negara mengambil tindakan tanpa deklarasi yang tidak memenuhi prasyarat. Terutama di negara otoritarian.

Keadaan darurat itu menjadi de jure kalau ada deklarasi resmi kepala negara. Walaupun ini sudah telat, tidak apa-apa. Karena banyak yang tidak menghayati hukum tata negara yang normal dan darurat.

Apa perlu membuat PP terkait dengan kondisi darurat ini? Apalagi UU No 6/2018 tentang Karantina Kesehatan sebenarnya sudah memuat mengenai Darurat Kesehatan.

UU No 6/2018 tentang Karantina Kesehatan hingga kini belum ada peraturan pemerintah (PP), padahal sudah dua tahun. Itu logika keadaan normal. Kalau sekarang keadaannya darurat, ya, lain lagi. Deklarasi harus dilakukan kepala negara secara resmi karena mengubah karakter hukum.

Mengubah karakter hukum itu merupakan persoalan penting karena menyangkut keadil-an. Karena penerapan norma hukum normal dalam keadaan darurat mengurangi rasa keadilan. Makanya harus kepala negara yang menyatakan keadaan darurat.

Lantas bagaimana pemenuh­an hak masyarakat sipil yang ter­ganggu atau terpangkas aki­­bat kondisi penerapan keadaan darurat itu?

Tetapkan dulu keadaan daruratnya. Setelah itu, pemerintah bisa bertindak sesuai dengan aturan, yaitu cepat mengambil kebijakan yang mungkin melanggar aturan normal.

Sampai kapan masa darurat berlaku?

Ya sampai kondisi daruratnya berakhir sehingga juga harus dinyatakan waktunya terbatas sampai keadaan darurat itu tuntas. Normalnya dilakukan selama tiga bulan. Contohnya perppu harus diusulkan dalam persidangan berikutnya, yaitu tiga bulan. (Che/X-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya