Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Terus Pantau Eks WNI Anggota IS

Indriyani Astuti
08/3/2020 08:10
Terus Pantau Eks WNI Anggota IS
enaga ahli utama KSP Donny Gahral Adian (kiri) didampingi analis politik internasional Arya Sandhyudha (tengah) , Mantan Napi Haris Amir.(MI/Susanto)

KEPUTUSAN pemerintah Indonesia untuk tidak memulangkan eks warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dalam Foreign Tero­rist Fighter (FTF) atau teroris lintas negara dapat dipahami karena risiko keamanan. Langkah serupa juga diambil oleh negara lain. Meski demikian, pemerintah mengantisipasi dampak dari 690 WNI yang kini kehilangan kewarganegaraan.

Mereka berpotensi pindah ke negara lain atau mencari tempat baru untuk kembali membentuk kekuat­an. Pandangan itu mengemuka dalam diskusi bertajuk WNI IS Dipulangkan atau Dilupakan? di Jakarta, kemarin.

Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative, Arya Sandhiyuda, menjelaskan, dari hasil studi dan tren global terkait pelaku terorisme lintas negara, ada tiga kemungkinan.

Pertama, mereka kembali ke negara asal mereka dilahirkan. Kedua, memilih tempat konflik baru, dan terakhir memilih negara ketiga. Dalam konteks itu, Arya melihat tidak seluruh eks WNI yang bergabung IS di Suriah ingin kembali ke Indonesia.

“Bisa jadi mereka ingin bertempur di tempat lain, fakta bahwa IS sedang kalah di tempat pertempurannya,” ujarnya.

Menurutnya, pemerintah Indonesia turut bertanggung jawab dalam mencegah potensi penyebaran sel-sel terorisme dan radikalisme, dalam dan luar negeri. Karena itu, ada pilihan lain, yakni mengirim eks WNI yang pernah bergabung dengan IS ke Idlib, Turki. Di sana terdapat kamp yang dikelola oleh tentara Turki yang terlatih dalam menangani kelompok-kelompok radikal bersenjata.

“Secara umum menjadi tren global mereka mau kembali karena kalah. Turki dan Rusia mendesak mereka sehingga mereka mencari satu tempat singgah, bukan berarti redup ideologinya,” jelasnya.

Pandangan senada disampaikan Wakil Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia Jamhari Makruf. Menurut dia, eks WNI tersebut akan menjadi pencari suaka ke negara lain.

Ia berpendapat bahwa pemerintah perlu benar-benar memetakan 690 WNI yang bergabung dengan IS sebelum memulangkan anak-anak mereka ke Indonesia. Pemerintah berencana akan memulangkan anak yatim piatu berusia di bawah 10.

“Harus dipikirkan mereka akan disekolahkan di mana, jangan sampai bergabung dengan kelompok yang lama,” ucap Jamhari.

Tenaga ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian memaparkan, dari hasil pendataan yang dilakukan pemerintah, terdapat 690 eks WNI yang saat ini berada di Suriah.

Berkenaan dengan hal itu, kata dia, Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan tegas menyatakan mereka eks WNI tidak dipulangkan. “Itu demi keselamatan dan keamanan WNI di Indonesia,” tegasnya.

 

Paham sesat

Mantan napi terorisme, Haris Amir Falah, mengakui dibutuhkan waktu yang tidak singkat untuk menghilangkan paham radikal. Setelah hampir delapan tahun menjalani program deradikalisasi, Haris mengaku kini baru menyadari bahwa radikalisme dan terorisme merupakan paham sesat.

Dia mengungkapkan bahwa hal yang mendorongnya untuk hijrah dan setia kepada NKRI ialah ketika terkena kasus hukum tindak pidana terorisme pada 2010. Saat itu, ia merasa diperlakukan secara manusiawi walaupun hal yang dilakukannya ialah tindakan yang keji.

 

“Saya mulai tersentuh dengan perlakuan dari Densus 88. Tidak selalu dengan kekerasan, tetapi pendekatan yang dijelaskan bahwa saya terkena kasus hukum, hak-hak saya sebagai seorang muslim diberikan. Bukan Islam yang diperangi, melainkan saya sebagai muslim melanggar hukum negara harus dihukum. Ini negara kukum,” tukasnya. (P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya