Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Polemik Natuna, Pemerintah Diminta Bentuk ‘Sea and Coast Guard’

Wibowo Sangkala
08/1/2020 13:00
Polemik Natuna, Pemerintah Diminta Bentuk ‘Sea and Coast Guard’
Pergerakan kapal Coast Guard China di di Laut Natuna, Sabtu (4/1).(ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

PEMERHATI sektor kelautan dan perikanan Bambang Haryo Soekartono atau BHS menilai, polemik kapal Tiongkok yang memasuki batas wilayah dalam Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) di Perairan Natuna, Kepulauan Riau, akibat dari lemahnya keamanan laut di Indonesia.

Pasalnya, BHS melanjutkan, Indonesia tidak memiliki ‘Sea and Coast Guard’. Padahal berdasarkan Undang-undang No. 17 /2008 tentang Pelayaran ‘Sea and Coast Guard’  berfungsi sebagai penjaga dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

“Akan tetapi sejak diundangkannya Undang-undang tersebut hingga saat ini, Presiden belum menerbitkan peraturan yang mengatur lebih lanjut terkait fungsi dan tugas dari Sea and Coast Guard tersebut," kata Bambang.

"Bahkan saat ini oleh Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi menunjuk Bakamla sebagai ‘Sea and Coast Guard’ Indonesia,” ujar BHS kepada awak media, Rabu (8/1/2020).

“Tentu hal itu tidaklah tepat, karena seharusnya Badan Keamanan Laut (Bakamla) bukan pelaksana tugas ‘Sea and Coast Guard’ tetapi merupakan salah satu bagian dari ‘Sea and Coast Guard’ sebagai unsur keamanan beserta Basarnas sebagai unsur keselamatan.” Imbuh BHS.

Oleh karena itu, anggota DPR RI 2014-2019 itu menegaskan, bahwa jika pemerintah berkomitmen untuk melindungi semua sumber potensial perekonomian Indonesia dari sektor laut secara keseluruhan, sudah seharusnya ‘Sea and Coast Guard’ segera dibentuk dan dibuat peraturan tindaklanjutnya.

Pemerintah juga harus memiliki armada laut yang kuat untuk menjaga keamanan dan keselamatan sektor tersebut.

Memang jika dilihat ke belakang era Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti telah membentuk Satgas 115 berdasarkan Perpres No 115/2015 tentang Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal. Ttugas utama dari Satgas tersebut adalah mengembangkan dan melaksanakan operasi penegakan hukum dalam pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal.

“Akan tetapi menurut saya, keamanan laut ini bukan domainnya KKP melainkan domain dari ‘Sea and Coast Guard’. Di seluruh negara juga tidak ada KKP ngurusi masalah keamanan, terus terang ini salah kaprah,” tegas Bambang.

Baca juga : Menlu Tegaskan Kapal Tiongkok Langgar ZEE Indonesia

Jadi, Bambang menegaskan kembali, ‘Sea and Coast Guard’ ini sangatlah penting untuk mengamankan kekayaan laut Indonesia. Bukan hanya mengamankan sumber daya lautnya, melainkan juga menjaga keselamatan pelayaran baik logistik maupun penumpang di Indonesia.  

Masuknya kapal Tiongkok akibat kekosongan wilayah

Lebih jauh, Bambang mengatakan, bahwa masuknya kapal Tiongkok ke perairan Natuna juga akibat dari kekosongan wilayah tersebut. Perairan ZEE kosong tidak dimasuki kapal nelayan Indonesia karena kebijakan yang dikeluarkan mantan Menteri KKP Susi.

Susi mengeluarkan Regulasi yang tertuang dalam Peraturan Dirjen Tangkap melalui SE No. D.1234/DJPT/PI.470.D4/31/12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan pada Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)/ SIPI / SIKPI.

Menurut Bambang, dengan pembatasan maksimum kapal tangkap berukuran 150 GT akan menimbulkan banyak kerugian.

Kerugian tersebut di antaranya; kapal tidak dapat berlayar hingga mencapai wilayah ZEE baik dari sisi konstruksi dan stabilitas karena tidak mampu menghadapi gelombang yang besar.

Kemudian, efisiensi daya angkut hasil ikan yang tidak visible dari sisi teknis dan ekonomis jika dibandingkan biaya operasional karena ukuran kapal yang terlalu kecil.

Baca juga : Kapal Tiongkok masih Berkeliaran

Dampak dari regulasi tersebut berakibat ribuan kapal nelayan yang memiliki GT di atas 150 tidak beroperasi sehingga mengakibatkan kekosongan di wilayah ZEE. Setidaknya ada ribuan kapal yang tidak bisa beroperasi.

“Ada sekitar 1.000 lebih kapal tidak bisa beroperasi, kapal-kapal tersebut hanya bersandar di pesisir laut, ada di Muara Baru, Muara Angke, Indramayu, Pekalongan, Pati, Banyuwangi. Nah seharunya kalau kapal-kapal nelayan ini beroperasi, mereka juga bisa turut serta mengamankan dan menjaga laut kita dari kapal-kapal china atau asing,” ujar BHS.(WB/OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya