Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak seluruhnya permohonan pemohon yang diajukan Mantan Bupati Ogan Ilir (OI), Sumatra Selatan (Sumsel) Ahmad Wazir Noviandy.
Majelis menilai pasal yang diperka tidak melanggar ketentuan umum. Majelis Hakim menolak untuk mengubah Pasal 7 Ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
"Amar Putusan, mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (18/12).
Pasal 7 Ayat (2) huruf i UU 10/2016 berbunyi 'tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK)'.
Sidang putusan dihadiri oleh Ketua Majelis Anwar Usman dan anggota majelis Aswanto, Manahan MP Sitompul, Arief Hidayat, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, dan Wahiduddin Adams.
Dalam Pasal 53 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada prinsipnya membolehkan pemakaian atau penggunaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Bahwa jika dihubungkan dengan permohonan a quo, kalau pengertian 'pemakai narkotika' dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 tidak mendapatkan kejelasan atau tidak diberi batasan yang tegas, maka orang yang menggunakan narkotika untuk kepentingan kesehatan pun menjadi masuk ke dalam pengertian pemakai narkotika," kata Arif Hidayat.
Sehingga, sebagai konsekuensinya, orang tersebut tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Keadaan demikian jelas menimbulkan ketidakpastian hukum karena, disatu pihak, penggunaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dibenarkan.
"Berdasarkan hal tersebut apabila mantan pemakai narkotika yang telah selesai menjalani proses rehabilitasi juga tetap dimasukkan ke dalam kategori pemakai narkotika," tandas Arief.
Majelis hakim berpendapat bahwa dalil Pemohon mengenai frasa “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 adalah tidak beralasan menurut hukum sepanjang dalam penerapannya dikecualikan terhadap tiga alasan.
Alasan pertama yaitu pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat pemakai yang bersangkutan. Kedua, mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi.
"Ketiga, mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan/putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi," jelasnya.
Perkara dengan Nomor 99/PUU-XVI/2018 tersebut bermula ketika Ahmad Wazir yang merupakan bupati Ogan Ilir, sumatera Selatan 2016-2020 tertangkap basah mengonsumsi narkotika jenis sabu. dirinya ditangkap sebulan setelah dilantik.
Ahamad pun berkeinginan kembali maju menjadi Bupati Ogan Ilir. Namun pencalonan dirinya untuk wilayah yang sama merasa terhalangi dengan pasal a quo. (OL-11)
Pernyataan Puan Maharani soal putusan MK terkait pemisahan pemilu sangat objektif.
REVISI Undang-Undang Pemilu dan Pilkada dinilai sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri polemik terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Rifqinizamy menjelaskan ada sejumlah hal yang membuat turbulensi konstitusi. Pertama, Pasal 22 E ayat 1 menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun.
WAKIL Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melampaui kewenangan konstitusional karena menetapkan pemisahan pemilu nasional dan lokal
Umbu mengatakan MPR tidak berwenang menafsirkan putusan MK yang nantinya berdampak pada eksistensi dan keberlakuan putusan MK. Ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat.
Berbagai anggota DPR dan partai politik secara tegas menolak putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 soal pemisahan waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved