Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Waspadai Munculnya Otoritarianisme

Abdillah Muhammad Marzuqi
02/12/2019 08:50
Waspadai Munculnya Otoritarianisme
Sejumlah warga menonton bersama pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024 Joko Widodo-Ma’ruf Amin melalui layar.(ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

MUNCULNYA wacana terkait dengan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode menjadi bola liar. Dalam menyikapi wacana perubahan masa jabatan presiden itu, elite politik menjadi terbelah. Sebagian kalangan menolak perubahan aturan masa jabatan presiden menjadi tiga kali dengan durasi kepemimpinan total selama 15 tahun tersebut dan tetap mempertahankan aturan saat ini. Sebaliknya kalangan lain mengusulkan durasi kepemimpinan presiden menjadi delapan tahun.

Salah satu pihak yang menolak penambahan masa jabatan presiden itu ialah Partai Demokrat. Menurut Wakil Ketua Umum Demokrat Syarief Hasan, masa jabatan presiden lima tahun selama dua periode dianggap ideal. Dirinya melandaskan argumennya pada Pasal 6A UUD 1945 (Pasal 7).

"Kalau kita lihat UUD 1945 Pasal 6a, sudah jelas di situ bahwa itu cukup dua periode selama lima tahun," terangnya saat dihubungi Media Indonesia, akhir pekan lalu.

Menurut Syarief, dengan masa jabatan saat ini pemerintah sudah bisa berbuat banyak. Kalau masa jabatan presiden ditambah, bisa memunculkan penyalahgunaan kekuasaan dan cenderung koruptif. Ia menyebut contoh pemerintahan pada zaman Presiden Soekarno dan Soeharto.

"Kita kan sudah banyak contoh dari dari Soekarno, Soeharto. Justru itu makanya ditetapkan dua periode. Itu sudah banyak yang bisa dilakukan pemerintah," tegasnya.

Ia juga menepis wacana untuk menambah masa jabatan presiden menjadi 7-8 tahun. "Enggak, cukup lima tahun saja," ujarnya.

Pengamat politik dari Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai masa jabatan dua periode dengan durasi lima tahun sudah ideal. Penambahan periode pemerintahan dinilai bisa membuat pemerintah menjadi otoriter.

"Amendemen konstitusi yang dilakukan di awal reformasi ialah membatasi kekuasaan, membatasi kewenangan presiden yang begitu besar. Selain itu, mengoreksi atas jalannya pemerintahan yang dianggap tidak efektif dan terjadi banyaknya penyalahgunaan kekuasaan," katanya.

Sumber: dpr.go.id/JDIG/UUD 1045

 

Sandera Presiden

Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta Humphrey Djemat mengungkapkan wacana tersebut hanya akan menyandera Presiden Joko Widodo.

Ia menilai ada niat dari sejumlah partai politik (parpol) yang mengusulkan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode lewat amendemen UUD 1945.

"Terus terang saya melihat ada niat tidak baik dari parpol justru untuk menyandera presidennya. Kelihatannya dikasih satu hal yang baik, tapi sebenarnya itu membuat Presiden jadi kesulitan," terangnya seusai diskusi di Jakarta.

Menurut Humphrey, Presiden Jokowi harus bersikap tegas terkait dengan wacana tersebut agar Indonesia tidak kembali ke era sebelumnya. Presiden tidak boleh diam dengan bergulirnya wacana penambahan masa jabatan presiden.

"Satu-satunya jalan adalah ketegasan Presiden Jokowi. Dia harus menyatakan secara tegas bahwa saya tidak mau amendemen untuk masa jabatan presiden tiga kali," tandasnya.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan pihak istana sama sekali tidak menginisiasi wacana memperpanjang masa bakti presiden, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.

"Kita melihat dulu sumber wacananya dari mana. Kalau itu dari publik, ya biar saja berkembang. Istana tidak pernah menginisiasi wacana itu," kata Moeldoko. (Mal/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya