Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Dicari Oposisi yang Seimbang dan Konstruktif

Golda Eksa
04/11/2019 09:10
Dicari Oposisi yang Seimbang dan Konstruktif
Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin memperkenalkan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Merdeka, Jakarta.(MI/RAMSANI)

PRAKTIK demokrasi yang sehat bisa tercipta apabila ada checks and balances serta proses dialektika dalam bernegara. Karena itu, dibutuhkan peran oposisi yang konstruktif untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Harapan tersebut pun akan terkonsolidasi jika ada partai oposisi yang mampu mengimbangi kekuatan pemerintah dan parpol koalisinya.

Masuknya kader Partai Gerindra dalam Kabinet Indonesia Maju praktis membuat roda pemerintahan tidak imbang. Artinya, hanya tiga partai yang mungkin mengambil peran untuk mengontrol kehidupan politik di Tanah Air, yaitu PKS, Partai Demokrat, dan PAN. Sementara itu, agar berjalan dengan baik, pemerintah sejatinya bisa menerima kritik dari semua pihak.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, menegaskan agar demokrasi bisa berjalan dengan sehat, pemerintahan Presiden Joko Widodo tetap membutuhkan oposisi yang konstruktif menyuarakan pendapat dan mengeritik kebijakan pemerintah. Upaya oposisi yang dilakukan secara optimal dipastikan dapat mencegah kecenderungan pemerintah menjadi otoriter. "Kalau pemerintah menutup keran untuk menerima masukan, anti terhadap masukan, kecenderungannya bisa dipastikan menjadi otoriter," ujarnya ketika dihubungi, akhir pekan lalu.

Di sisi lain, tambah Cecep, partai-partai pendukung pemerintah di parlemen diharapkan tidak sekadar mengambil sikap sebagai pendukung militan. Partai pendukung pemerintah ini juga perlu mengkritik sekaligus memberikan masukan terhadap semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. "Intinya adanya pengawasan terhadap kekuasaan. Karena kalau kekuasaan tidak diawasi, yang terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan)."

Hal senada dikatakan analis politik Exposit Strategic Arif Susanto. Menurutnya, kekuatan penyeimbang di DPR mutlak diperlukan untuk menjamin kesehatan iklim demokrasi. "Dalam suatu demokrasi modern, perimbangan kekuatan adalah suatu kebutuhan agar kekuasaan tidak memusat di tangan satu pihak tertentu," katanya.

Sumber: Tim Riset MI/Foto:MI/Antara

 

Kebutuhan itu, menurutnya, diwujudkan dalam mekanisme pengawasan dan kontrol yang memberi ruang bagi parlemen untuk mengawasi pemerintah. "Tanpa yang satu memiliki kekuasaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang lain," tambahnya.

Sayangnya, tambah Arif, saat ini hampir semua partai punya kecenderungan bergabung dalam pemerintahan. Hal itu memunculkan dampak yang tidak bisa dikatakan remeh. Pertama ialah lemahnya kontrol terhadap kekuasaan eksekutif. Kedua, menguatnya tegangan intrakoalisi. "Konsekuensinya, belum tampak suatu kekuatan penyeimbang yang solid dan berintegritas untuk memberi alternatif langkah politik dan kebijakan," tegasnya.

 

Blok politik baru

Arif menegaskan, kebutuhan perimbangan kekuatan tersebut semestinya diisi blok baru politik. Blok tersebut tidak hanya akan memberi angin segar pada kondisi politik nasional, tetapi juga menghindarkan dari polarisasi dua kubu yang terbentuk sejak Pilpres 2014. "Jika didorong lebih lanjut, hal ini juga berpeluang memberi alternatif untuk menyongsong kemungkinan-kemungkinan baru pada 2020 hingga 2024," tegasnya.

Di samping blok politik, Cecep menambahkan, partisipasi kelompok masyarakat sipil, seperti LSM, dunia kampus, dan pers juga sangat diperlukan. Masyarakat sipil harus bisa menjadi penyeimbang kekuatan pemerintah. (Zuq/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya