Headline
BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia
BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia
KEPALA Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menyatakan pencegahan radikalisme dan terorisme sebaiknya tidak melalui pendekatan berbasis stereotip yang justru bisa menimbulkan stigmatisasi.
Hal itu disampaikannya terkait wacana Menteri Agama yang ingin membatasi penggunaan cadar dan celana cingkrang di lingkungan instansi pemerintah baik sipil maupun militer. Upaya kontraradikalisme, ucap Suhardi, perlu melalui pendekatan lunak dengan mengutamakan nilai-nilai kebangsaan.
"Arahan dari Menkopolhukam sangat jelas untuk tidak mengasosiasikan radikalisme dari tampilan fisik. Jadi bukan soal bercadar dan celana cingkrang. Bisa saja pakaiannya biasa tapi pemikirannya radikal. Untuk soal itu nanti akan saya diskusikan dengan Menteri Agama," kata Suhardi usai acara penandatangan nota kesepahaman dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di kantor BNPT Jakarta, Jumat (1/11).
Baca juga: Tjahjo Kumolo Pastikan belum Bahas Larangan ASN Bercadar
Menurut Suhardi, cara berpakaian tertentu merupakan persoalan kultural dan belum tentu menandakan seseorang radikal. Ia mengatakan banyak cara orang bisa menjadi radikal namun yang utama ialah bagaimana negara merangkul dengan nilai kebangsaan agar tidak terjadi stigmatisasi dan marginalisasi.
"Yang jelas jangan ada stigma karena ini masalah kultur," ucapnya.
Ia menambahkan BNPT saat ini juga sudah menyerahkan daftar mantan teroris dan orang-orang yang terpapar radikalisme ke Kementeriab Dalam Negeri agar pemerintah daerah bisa melakukan pengawasan.
Selain mengawasi, imbuh Suhardi, pemda diharapkan bisa memastikan akses ekonomi dan pendidikan untuk mereka terjamin. Hal itu agar para mantan teroris bisa diterima masyarakat dan tidak mengembangkan sel baru atau kembali ke sel lama.
"Mereka yang terpapar radikalisme dan terorisme bisa berubah. Pertama, faktor internal yakni niat. Kedua, faktor eksternal penerimaan masyarakat. Kalau mereka mendapat labelisasi dan stigma akan bermasalah lagi," ucapnya.
Plt Kepala BPIP Hariyono mengakui isu radikalisme di jajaran ASN menjadi tantangan kebangsaan yang perlu ditangani. Menurut dia, radikalisme berkembang di sejumlah lini karena kurangnya pemahaman nilai-nilai Pancasila.
"Jangan sampai aparatur negara baik itu sipil, TNI, dan Polri ada yang meragukan apalagi sampai ingin mengganti ideologi Pancasila," ucapnya
Terkait wacana pembatasan berpakaian di kalangan ASN, Hariyono menilai perlu ada penegasan melalui aturan yang baku. Ia mengusulkan Menpan-RB untuk membuat aturan yang lebih tegas mengenai cara berpakaian ASN yang merujuk pada ideologi Pancasila.
"Perlu ada tata etika ASN termasuk berpakaian yang rujukannya Pancasila," ujarnya.(OL-4)
Narasi tandingan tentang nasionalisme dan kebhinekaan masih disajikan secara monoton. “Anak-anak tidak bisa menerima narasi kebangsaan yang membosankan
KEPALA Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Eddy Hartono mengunjungi dan berdialog dengan masyarakat di 4 titik Desa Siap Siaga Kecamatan Jamblang.
BNPT bersama FKPT Provinsi Bali menyelenggarakan Lomba Gelar Budaya bertajuk Suara Damai Nusantara (SUDARA) guna memperkuat ketahanan siswa-siswi tingkat SMP dan SMA/sederajat
BNPT menyebut seorang perempuan yang sejatinya memiliki nilai keibuan, justru secara sengaja atau tidak sengaja menjadi aktor penting di dalam berbagai peristiwa atau aktivitas terorisme.
Pemerintah Indonesia akan meningkatkan perlindungan untuk kepulangan jamaah haji.
Pencegahan tidak hanya dilakukan dari sisi keamanan tapi juga harus bisa memanfaatkan teknologi IT
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved