Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
PAKAR hukum pidana Universitas Al Azhar Jakarta, Suparji Ahmad menyarankan agar Pasal 217-220 dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dihapuskan, dalam rangka merespon aspirasi masyarakat.
Pasal 217-220 RKUHP mengatur hukuman terhadap setiap orang yang menyerang harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
"Itu dalam rangka merespon aspirasi masyarakat karena pasal-pasal tersebut dikritik banyak orang karena dinilai warisan kolonial dan bertentangan dengan putusan MK," kata Suparji dalam diskusi di Jakarta, Sabtu.
Dia mengatakan banyak pihak menilai pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden/Wakil Presiden dikhawatirkan multi-interpretasi, memasung kebebasan pers, dan dikhawatirkan mudah mempidanakan orang.
Pasal-pasal itu menurut dia dikhawatirkan mempidanakan orang, padahal Presiden adalah pejabat publik dan seharusnya sebagai pejabat sangat wajar kalau dikritik.
"Itu salah satu nuansa yang muncul dalam berbagai diskusi, apalagi kalau sekarang ditunda pengesahannya maka pasal-pasal itu dihapuskan saja," ujarnya.
Baca juga: YLBHI: Perumusan RUU KUHP Harus Komprehensif
Namun, dia menilai sebenarnya pasal 217-220 RKUHP itu tidak akan mengekang kebebasan pers karena Presiden/Wakil Presiden tidak bisa semena-mena melaporkan media massa kalau unsur-unsurnya tidak terpenuhi.
Dia mencontohkan kalau pers mengkritik kebijakan, menjelaskan suatu persoalan maka Presiden/Wapres tidak bisa menilainya sebagai penghinaan atau penyerangan harkat dan martabat sehingga pers tidak bisa dipidanakan.
"Logikanya sederhana, karena presiden simbol negara sehingga tidak boleh dihina dan diserang. Menghina tiap orang tidak boleh apalagi presiden/wapres, sehingga perlu dilindungi," tuturnya.
Dia menilai atas berbagai pertimbangan, pasal-pasal itu diperlukan asalkan pelaksanannya bisa proporsional dan penanganannya profesional dan dilakukan berdasarkan delik aduan.
Pasal 217 RKUHP menyebutkan bahwa Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 218 ayat (1)? Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 218 ayat (2)? menyebutkan tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 219 menyebutkan Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4,5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Dan Pasal 220 ayat (1)?Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Ayat (2) ?Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.(OL-4)
Komnas HAM meminta aparat keamanan untuk tidak menggunakan tindakan kekerasan dalam menjaga keamanan, serta mengedepankan pendekatan yang lebih humanis dan terukur
KAUKUS Muda Betawi merampungkan draf usulan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan
Polisi menangkap 301 orang terkait aksi unjuk rasa revisi Undang-Undang Pilkada yang berakhir ricuh kemarin. Saat ini 112 orang di antaranya sudah dipulangkan.
Swedia memiliki UU mengenai kebebasan berekspresi dan protes, tetapi UU tersebut seharusnya tidak melewati batas hingga mengarah pada ujaran kebencian.
Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, menilai pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) yang dilakukan DPR RI belum perlu dibahas.
Dalam pasal itu, ketentuan pidananya ialah hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100 juta.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved