Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Revisi UU KPK Sebagai Bentuk Check and Balances

Putra Ananda
17/9/2019 16:07
Revisi UU KPK Sebagai Bentuk Check and Balances
Pakar hukum UI Chudry Sitompul(MI/Immanuel Antonius)

PAKAR hukum dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul menyebut revisi UU KPK perlu dilakukan agar tercipta check and balances dalam proses penegakkan hukum di Indonesia. Untuk itu tidak ada alasan bagi DPR untuk menunda pembahasan revisi UU KPK.

Menurut Chudry, dalam negara hukum tidak boleh ada satu lembaga pun yang memiliki kekuatan tidak terbatas. Tidak adanya pengawasan membuat KPK selama ini menjadi sebuah lembaga yang sangat istimewa dan melebihi kewenangan yang tidak dimiliki aparat penegak hukum lain.

"Kita mau menata agar tidak ada lembaga yang kekuasannya tak terbatas. Setiap lembaga yang kekuasaannya tidak terbatas tentu menimbulkan masalah dan biasanya akan terjadi penyalahgunaan dalam kewenangan," kata Chudry kepada wartawan di Jakarta, Selasa (17/9).

Begitu pula dalam teori bernegara, seharusnya juga tidak boleh ada lembaga yang tidak terbatas. Semua harus ada check and balances agar apa yang dilakukan sesuai dengan koridor yang sudah disepakati bersama.

Baca juga: RUU KPK Disahkan Jadi UU

Dirinya mencontohkan, terkait fungsi penyadapan yang dimiliki KPK. Penyadapan sebenarnya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi karena ada suatu kejahatan maka hak tersebut terpaksa harus dilanggar.

"Dalam teori hukumnya boleh dilanggar tapi itu sangat terbatas dan sangat hati-hati karena ini pelanggaran HAM. Karena itu pelanggaran hak tidak boleh sembarang dipakai dan harus ada check and balances," ungkapnya.

Namun demikian, diakui, belakangan ini terus terjadi pembentukan opini, kalau misalnya KPK hak menyadapnya ini dibatasi, tapi ada pengawasan, dianggap pelemahan.

"Ini bukan pelemahan, hanya untuk check and balances dan jangan sampai disalahgunakan," ucapnya.

Masalah lain, menurutnya, adalah adanya desakan agar presiden menarik atau membatalkan Surat Presiden (Surpres) terkait revisi UU KPK. Secara teori, memang bisa membatalkan Surpres, namun implikasinya akan jauh lebih besar.

"Secara teori bisa saja surpres dihentikan, tetapi itu akan menjadi masalah lagi. Kalau presiden tidak mengirim atau membatalkan Surpres, nanti bisa saja UU yang diusulkan pemerintah tidak diapa-apain oleh DPR," tukasnya.

Dalam kesempatan itu dirinya juga menyayangkan adanya komisioner KPK yang mengundurkan diri dan menyerahkan mandat ke Presiden. Kondisi ini juga merupakan preseden buruk bagi KPK karena sudah disumpah mampu menjalankan amanat selama empat tahun.

Dengan adanya keputusan mundur dan menyerahkan mandat, Chudry pun menilai komisioner KPK sudah tidak negarawan. Di sisi lain, komisioner juga terkesan mencoba-coba masuk ke ranah politik sebagai imbas dari penolakan pimpinan terpilih. (OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya