Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Revisi KUHP Kekang Kebebasan Sipil

Dhika kusuma winata
17/9/2019 08:50
Revisi KUHP Kekang Kebebasan Sipil
Juru Bicara Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi, Nining Elitos.(ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

SEJUMLAH elemen masyarakat sipil menggelar aksi di depan Gedung DPR RI untuk meminta penundaan pengesahan Rancangan Undang-Undang KUHP (RKUHP). Juru bicara elemen aksi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi, Nining Elitos, menegaskan bahwa masyarakat sipil menilai isi draf revisi tersebut mengekang demokrasi dan akan merugikan masyarakat.

"Kita melihat adanya pasal bermasalah yang bisa mengekang kebebasan sipil," ujarnya di Jakarta, kemarin.

Ia menyebutkan seharusnya revisi KUHP bertujuan mengubah peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Namun, kenyataannya sejumlah pasal seperti pasal penghinaan presiden justru bertentangan dengan semangat tersebut.

"KUHP memang peninggalan kolonial, tetapi perubahannya harus mengedepankan kepentingan rakyat. Kami ingin pembahasannya melibatkan seluruh masyarakat sipil," ujarnya.

Selain pasal penghinaan terhadap presiden, tambah Nining, pihaknya juga mencatat adanya pasal-pasal yang dipakai pemerintah kolonial untuk memberangus suara-suara kritik, seperti penghinaan pemerintahan yang sah dan penghinaan badan umum.

Di tempat yang sama, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Asnil Bambani Amri, yang turut ambil bagian dalam aksi itu juga menilai RUU tersebut akan mengekang insan pers Tanah Air.

AJI mencatat setidaknya 10 pasal di RKUHP yang berpotensi mengekang pers. Ia mencontohkan, selain penghinaan terhadap presiden dan pemerintah, pihaknya menemukan sejumlah pasal bermasalah, seperti pasal tentang hasutan melawan penguasa, penghinaan terhadap pengadilan, dan penyiaran berita bohong.

"Jika UU ini berlaku, pers bisa saja dibilang menyebarkan berita palsu. Penjara juga akan mengancam kita," tuturnya.

Yang paling parah, tambahnya, ada pencemaran nama baik terhadap orang yang sudah meninggal.

"Ketika kita mengkritisi orang yang sudah tidak ada, misalnya Presiden Soeharto, kemudian keluarga tidak menerima, itu bisa dikenai pasal pencemaran nama baik orang mati. Aturan ini (RKUHP) disebut untuk merevisi aturan kolonial, tetapi isinya justru lebih kolonial dari kolonial," kata Asnil.

 

Tetap diikutsertakan

Meski demikian, pihak DPR melalui Panitia Kerja (Panja) Revisi KUHP memastikan telah menyelesaikan draf RUU KUHP. Dalam rancangan tersebut, pengaturan tentang pasal penghinaan presiden tetap diikutsertaan. "Artinya secara politik dan hukum kita semua sepakat bahwa pasal itu harus ada," ungkap politikus PPP Arsul Sani di Jakarta, kemarin.

Arsul melanjutkan, DPR sengaja mempercepat proses pembahasan RKHUP. Hal itu dilakukan untuk mengejar sisa waktu masa bakti anggota DPR periode 2014-2019 yang segera berakhir. Rapat bahkan diadakan saat akhir pekan. "Karena akhir pekan maka rapat tidak bisa dilakukan di Gedung DPR/MPR," ungkapnya.

Arsul mengungkapkan DPR terlah mendengar masukan dari berbagai pihak, termasuk elemen masyarakat sipil terkait dengan urgensi dimasukkannya pasal penghinaan presiden. Ia menilai pasal tersebut tetap harus ada untuk mencegah adanya ujaran kebencian yang ditujukan kepada kepala negara. (Uta/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya